Minggu, 18 Oktober 2015

Radio Masuk Desa

Jurus paling ampuh Informasih di perdesaaan adalah radio masuk desa
Berdasarkan dari hal tersebut diatas dan mengingat  media radio sangat efektif dan cocok dinikmati sambil melaksanakan aktifitas tanpa menganggu aktifitas itu sendiri, kami berkeyakinan kedepan Radio News Muaro JAmbi  Fm mampu membawa misi sebagai media informasi, hiburan dan media pendidikan.

Target Audiance

Usia                     : 25 – 50 TAHUN

Jenis Kelamin       : a. LAKI;LAKI 50 % ( 60 % DEWASA, 40 % ANAK MUDA )
                             b. PEREMPUAN 50 % ( 60 % DEWASA, 40% ANAK MUDA )


SES
A & B > 60 % - Fokus sasaran pendengan standar pendidikan sarjana, pendapatan  perbulannya minimal Rp. 1.500.000,- berprofesi sebagai pelaku bisnis dan pekerja kantoran, tani, bergaya hidup sebagai penikmat pasar (mall)

Tarif Iklan

Spot 30 detik            : Rp. 22.000,-
Spot 60 detik            : Rp. 35.000,-
Adlibs                      : Rp. 25.000,-

Sponsor Program 30 menit (1kali siar)    Rp. 250.000,-
Sponsor Program 60 menit (1kali siar)    Rp. 500.000,-
Sponsor Program 90 menit (1kali siar)    Rp. 750.000,-

Selasa, 13 Oktober 2015

Wayang Indonesia Carangan, Lakon

Carangan, Lakon

LAKON CARANGAN, atau cerita carangan adalah lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana seperti biasanya. Biasanya cerita carangan semacam ini dilakukan untuk memenuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan pemerintah.
Sebagian ahli wayang berpendapat bahwa sebaiknya tidak diadakan pemisahan antara lakon wayang yang pakem dan yang carangan. Alasannya, sebenarnya semua lakon wayang adalah karangan manusia. Sebuh lakon yang semula dianggap sebagai carangan bisa saja menjadi baku atau pakem, bilamana cerita atau lakon itu ternyata diterima masyarakat sehingga sering dipertunjukkan.
ASKI, Akademi Seni Karawitan Indonesia, sebuah lembaga pendidikan kesenian di Surakarta pernah mengadakan penelitian dan pengumpulan data mengenai lakon carangan ini. Pada bulan Oktober 1988, ASKI diubah statusnya menjadi STSI atau Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta.
Lakon carangan yang sudah terlalu jauh keluar dari jalur pakem, biasanya disebut lakon sempalan. Selain itu, dalam Wayang Purwa dikenal juga adanya lakon banjaran, yakni lakon yang khusus digubah oleh Ki Dalang tentang riwayat hidup lengkap (biografi) seorang tokoh wayang.
Di antara tema lakon carangan, yang terbanyak adalah yang menyangkut hidup perkawinan Arjuna dengan Subadra. Biasanya ceritanya berkisar pada peristiwa, karena Arjuna pergi bertapa, banyak pihak yang mengambil kesempatan untuk mengambil alih istri Arjuna itu. Cerita yang temanya demikian, di antaranya adalah lakon Sinusena, Cekel Endralaya, Sidajati-Sidalamong, dan sebagainya.
Cukup banyak lakon carangan kuna yang kurang sesuai dengan selera masyarakat penonton, akhirnya juga punah, tidak lagi dipergelarkan orang. Misalnya, beberapa lakon carangan yang menyangkut tokoh Bima: Bima Kacep, Bima Tulak, dan Bima Medamel.
Pada lakon-lakon itu diceritakan tentang Bima yang berbuat selingkuh dengan Dewi Uma; tentang Bima yang bertelanjang  berkeliling sawah dengan alat kelamin memancarkan sinar terang, dan Bima yang menanam ketan gondil agar dapat menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.
Tema cerita lakon-lakon itu tidak sesuai dengan imajinasi masyarakat terhadap Bima, sehingga tidak diminati orang.
Lakon Carangan di Surakarta
Lakon carangan yang beredar di daerah Surakarta dapat digolongkan menjadi tujuh golongan yakni:
  1. Lampahan Raben (cerita perkawinan) contohnya: lakon Rabinipun Dursasana (perkawinan Dursasana); lampahan Rabinipun Wisanggeni (Perkawinan Wisanggeni) dan sebagainya.
  2. Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri Marga Jaya; Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa dan sebagainya.
  3. Lampahan Malih-malihan (cerita perubahan wujud) contohnya: lakon Doraweca; Jayeng Katong; Samba Warangka; Suryadadari; Peksi Mas Merak; Rasatali-Talirasa dan sebagainya.
  4. Lampahan Lahir-lahiran (cerita kelahiran) contohnya: lakon Lahiripun Danankusuma; Lahiripun Bambang Danasalira, Lahiripun Petruk, dan sebagainya.
  5. Lampahan Murcan (cerita menghilang) contohnya: lakon Partawarayang; Jaka Brongsong; Turanggajati; Jongke Asmara Cipta, dan sebagainya.
  6. Lampahan Lucon (cerita humor) contohnya lakon Petruk Kelangan Petel; Gareng Tetak; Bagong Dadi Ratu; Kresnadenta; Gareng Dadi Ratu, dan sebagainya.
  7. Lampahan Wejangan (cerita tentang mistik) contohnya: lakon Senalodra; Gatotkaca Dados Guru; Pendawa Pitu; Arjuna Pitu; Arjuna Pingit; Mayangkara, dan sebagainya.
Prof. Dr. Soetarno salah seorang pengamat budaya wayang dari Surakarta mengatakan bahwa seluruh lakon Wayang Kulit gayaSurakarta dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni lakon pokok dan lakon carangan. Lakon carangan dibagi menjadi tiga kategori yaitu: lakon carangan kadapur, lakon carangan, dan lakon sempalan.
  1. Lakon Pokok juga disebut lakon dapur, lakon jejer atau lakon lugu; menggambarkan cerita versi tradisional seperti yang dibawakan dalam Ramayana dan Mahabarata. Contohnya lakon Pandu Lahir.
  2. Lakon Carangan tokoh-tokohnya mengambil dari lakon pokok, tetapi alur ceritanya sama sekali dibuat baru. Pada umumnya lakon-lakon tersebut disusun oleh para ahli pewayangan atau seniman dalang dan mempunyai fungsi pedagogis, dan kadang-kadang memuat kritik sosial atau ajaran spiritual.
Lakon Carangan dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu:
  1. Lakon Carangan Kadapur yang masih ada hubungannya dengan lakon pokok, berpegang pada tema yang sama dan menggunakan silsilah tokoh-tokoh yang sama. Jenis lakon ini kurang lebih sifatnya seperti lakon-lakon pokok. Contohnya lakon Jaladara Rabi,  menceritakan perkawinan antara Kakrasana dengan Dewi Erawati. Lakon Utara dan Wiratsangka Krama, menceritakan perkawinan utara dan Wiratsangka putera raja Matswapati. Lakon Wirata Parwa, menceritakan pemunculan lagi para Pandawa di Wirata setelah mengalami pembuangan selama dua belas tahun.
  2. Lakon Carangan adalah suatu cerita yang tidak ada sambungannya lagi dengan lakon-lakon pokok, dan ini benar-benar merupakan ciptaan baru. Contohnya lakon Dasa Warna, yang menceritakan Petruk menjadi raja di tanah sabrang; lakon Mustakaweni, yang menceritakan perkawinan antara Priyambada putra Arjuna dengan Mustakaweni.
  3. Lakon Sempalan adalah jenis lakon yang mengambil tokoh utamanya sama dengan lakon pokok, tetapi temanya dirubah. Contohnya lakon Pregiwa Pregiwati yang menceritakan Endang Pregiwa dan Pregiwati mencari ayahnya dan pertemuan mereka dengan Gatotkaca, putra Bima; lakon Gatotkaca Sungging yang mengisahkan perkawinan antara Gatotkaca dengan Dewi Dahanawati anak Prabu Dahanamukti dari Kerajaan Dahanapura; lakon Swarga Bandang, yang mengisahkan Srikandi menyamar sebagai penari untuk mencari Arjuna di Swarga Bandang; lakon Dewa Ruci, menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci atau Bima mencari Tirta Pawitra (air kehidupan).
Tradisi pedalangan Surakarta juga terdapat jenis lakon pasemon (sindiran) atau gambaran terhadap peristiwa pada zaman kerajaan di Jawa. Lakon-lakon itu antara lain: lakon Swarga Bandang, yang dibuat pada zaman Panembahan Senapati di Mataram, merupakan penggambaran pada waktu bedah Mangir; lakon Rajamala, dibuat zaman kekuasaan Senapati di Mataram. Lakon ini pasemon terbunuhnya Arya Panangsang di Jipang Panolan; lakon Mustakaweni sampai lakon Petruk Dadi Ratu adalah pasemon kehidupan Paku Buwana I di Surakarta; lakon Gilingwesi (Werkudara Dadi Ratu) dibuat zaman Paku Buwana II, adalah pasemon bedahnya Keraton Kartasura; lakon Wijanarka ditulis pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon kembalinya Paku Buwana II dari Ponorogo setelah menjadi menantunya Anom Besari; lakon Suryaputra Maling dibuat pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon Pangeran Singasari menjadi pencuri; lakon Kresna Kembang dicipta pada zaman Paku Buwana IV di Surakarta, merupakan pasemon percintaan Ratu Pembayun dengan Raden Mas Hario Natawijaya.
Juragan Wayang Wong, yakni pengelola bisnis Wayang Orang adalah sebab utama membanjirnya lakon-lakon carangan baru, yang sering kali tidak memperhatikan soal logika cerita dan filsafat wayang. Sebagai juragan, dengan tujuan menarik penonton sebanyak mungkin, kadang kala mereka mengarang cerita carangan baru. Padahal para juragan itu minim sekali pengetahuannya tentang balungan lakon wayang, pakem wayang, bahkan sering kali buta mengenai filsafatnya. Para pemainnya tidak ada yang berani mengoreksi, walaupun itu salah.
Mereka inilah yang pada tahun 1925-an sampai sekitar tahun 1945-an, menyebabkan lakon-lakon Wayang Purwa menjadi simpang siur, dangkal filsafatnya, dan juga terkadang malahan tidak masuk akal.
Baca juga BANJARAN; LAKON.

Senin, 05 Oktober 2015

DPT Muaro Jambi Berjumlah 272.428

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Muaro Jambi telah menggelar rapat pleno penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilihan Umum (Pemilu) DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi Jambi, dan DPRD Kabupaten Muaro Jambi. DPT yang ditetapkan berjumlah 272.428 pemilih, dengan rincian 140.401 laki-laki dan 132.027 perempuan.

Pemilih terbanyak ada di Kecamatan Sungai Gelam dengan jumlah 47.361 pemilih. Sedangkan pemilih paling sedikit ada di Kecamatan Taman Rajo, dengan jumlah 9.242 pemilih.

Komisioner KPU Kabupaten Muaro Jambi, Suparmin, mengatakan jumlah DPT tersebut telah diplenokan hari Sabtu (12/10) lalu, dan selanjutnya akan diserahkan kepada partai politik tingkat kabupaten, serta kecamatan, PPK dan PPS. “Besok kita serahkan data tersebut kepada parpol tingkat kabupaten, serta pihak kecamatan, PPK serta PPS. Jumat (18/10) akan ditempelkan oleh PPS disetiap desa atau kelurahan,” kata Suparmin.

Ditambahkannya, apabila ada masyarakat yang belum masuk dalam DPT, masih bisa di data di daftar pemilih tambahan dan pemilih khusus. “Pemilih tambahan sampai H-3 pencoblosan dan untuk khusus H-7 hari pencoblosan yang ditetapkan,” jelasnya.

“Kalau masih juga terdapat masyarakat yang belum masuh di DPT dan pemilih tambahan maupun khusus, masih bisa dengan menunjukkan KTP dan KK ke TPS pada hari pencoblosan,” pungkasnya.

sumber metro jambi  Reporter : Khusnizar

Sabtu, 03 Oktober 2015

Sejarah karawitan jawa

Karawitan berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit juga berarti halus, indah-indah. Sedangkan kata ngrawit berarti suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah
Kata jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada nondiatonis ( dalam laras slendro dan pelog ) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap yang tampak nyata dalam sajian gending, baik itu yang berbentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar. mengandung nilai-nilai histories dan filsofis bagi bangsa Indonesia, maupun asesoris lainnya.
Definisiseni karawitan sendiri adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain (Suhastjarja,1984)
LARAS
Perangkat gamelan yang digunakan dalam seni karawitan memiliki 2 yaitu Laras slendro dan pelog. Laras slendro dan pelog adalah salah satu dari dua unsur utama yang mencirikan karawitan.
a. Laras Slendro   
   Sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang dengan pola jarak yang hampir  sama rata. Sedangkan laras ( nada-nada ) yang digunakan dalam laras slendro adalah:
1. Penunggul, atau sering juga disebut barang, diberi simbol 1(angka arab satu), dan dibaca siji atau ji.
2. Gulu, atau jangga (kromo jw.), diberi simbol 2 (angka arab dua), dibaca loro atau disingkat ro
3. Dhodho, atau jaja atau tengah, diberi simbol 3 (angka arab tiga), dan dibaca telu atau dibaca singkat lu.
4. Lima, diberi simbol 5 (angka arab lima ), dibaca lima , atau mo sebagai bacaan singkatnya.
5. Nem, diberisimbol 6 (angka arab enam), dibaca nem.
    Selain lima nada pokok tersebut juga sering disebut beberapa nama laras atau nada , seperti:
1. Barang, yaitu nada gembyangan dari penungggul, diberi simbol 1(angka arab satu dengan titik diatas angka), dibaca ji atau siji.
2. Manis, yaitu nada gembyangan gulu, diberi simbol angka 2 ( angka arab dua dengan titik diatas). Manis hanya digunakan untuk laras kenong dan kempul.
b. Laras Pelog.
Sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada (atau tujuh) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan satu pola jarak nada yang tidak sama rat, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jauh.
Dalam penyajian, memang sering terdapat beberapa gendhing yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya menggunakan lima nada saja, terutama dalam kasus penyajian gendhing pelog sebagai hasil alih laras slendro, yaitu gendhing yang biasanya atau “aslinya” disajikan dalam laras slendro, kemudian disajikan dalam dalam laras pelog.  Suatu hal yang biasa dalam karawitan Jawa bahwa suatu gendhing dapat dan boleh disajikan dalam dua laras yang berbeda.
Perangkat Gamelan
Dalam seni karawitan terdapat berbagai jenis perangkat gamelan yang di bedakan menurut jenis,jumlah dan fungsinya di masyarakat yang sejak dulu dan sampai sekarang masih dilestarikan antara lain:
1. Gamelan Kodhok Ngorek
Gamelan ini hanya dimiliki oleh kalangan keraton dan masyarakat umum tidak dibenarkan memiliki perangkat gamelan sejenis gamelan ini biasanya digunakan untuk:
- Hajatan atau peristiwa perningkahan(temu penganten)
- Upacara(grebeg puasa,bakda,mulud)
- Tanda atau berita tentang adannya kelahiran bayi perempuan

Berikut ini komposisi gamelan Kodhok Ngorek:
- Sepasang kendang alit dan kendang ageng
- Satu atau dua rancak bonang yang terdiri dari delapan pencon
- Satu rancak rijal yang terdiri dari delapan pencon
- Dua buah gong
- Sepasang penontong
- Sepasang rojeh
- Sepasang kenong
- Serancak kecer
- Serancak gender barung
- Serancak gambang gangsa
Repertoar gending yang biasanya digunakan dalam perangkat gamelan ini ,yaitu Dhendha santi, pedaringan kebak dan Dhendha gedhe. Kebanyakan orang menyebut bahwa gamelan kodhok ngorek adalah gamelan dua nada dan berlaras pelok. Adapun lagu pokok kodhok ngorek yang terdapat pada gamelan ageng adalah sebagai berikut:
            7.76 7.76 7.76 7.76 untuk gamelan tumbuk nem
            6.65 6.65 6.65 6.65 untuk gamelan tumbuk lima
Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat),kemudian tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai)
2. Gamelan Monggang
Gamelan ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari gamelan kodhok ngorek, walau dari segi umur gamelan ini lebih muda.kedudukan ini dicapai karena fungsi dan perannya yang lebih banyak dan lebih penting (tinggi). Fungsi perangkat gamelan ini antara lain:
-Memberi tanda pada berbagai upacara(penobatan,jumenengan raja)
-Mengiringi gunungan pada berbagai upacara grebeg
-Menengarai berbagai peristiwa penting
-Mengiringi adon-adon (aduan,sabungan)
-Mengiringi latihan perang
-Menengarai bayi laki-laki dari keluarga raja
-Menengarai kemangkatan(meninggalnya raja)
Gamelan Monggang memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
-Serancak bonang yang terdiri dari empat bagian
-Satu atau lebih rancak bonang.berisi enam pencon yang terdiri tiga nada
-Tiga rancak kecer
-Satu gayor penonthong terdiri dari dua pencon yang larasnya berbeda
-Sepasang kendang
-Sepasang gong ageng
-Sepasang  rancak kenong (japan)
Gamelan monggang juga disebut dengan gamelan patigan, artinya gamelan yang memiliki tiga nada pokok. Gamelan ini juga berlaras pelok dan slendro, adapun pola tabuhannya sebagai berikut:
1615 / 3231 / 2726
Nada pertama adalah dua nada diatas seleh
Nada kedua adalah satu nada diatas seleh
Nada ketiga adalah nada seleh
Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai).
3. Gamelan Carabalen
Gamelan Carabalen adalah gamelan dari jenis pakumartan, yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat atau lembaga diluar keraton. Gamelan ini memiliki fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatang para tamu. Gamelan ini memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
- Sepasang kendang (lanang dan wadon)
- Satu rancak gambyong (terdiri dari empat pencon bonang)
- Satu rancak bonang yang berfungsi sebagai klenang dan kenut
- Sebuah penontong
- Sebuah kenong (japan)
- Sebuah kempul dan gang dalam satu gayor
Gamelan ini memiliki empat nada pokok dan memiliki lebih dari satu gendhing pada repertoarnya. gendhing-gendhing tersebut antara lain:
- Lancaran Gangsaran
- Lancaran Klumpuk
- Lancaran Glagah Kanginan
- Lancaran Bali-Balen
- Ketawang Pisang Bali
- Ladrang Babad Kenceng
4. Gamelan Sekaten
Gamelan ini dianggap paling terkait dengan upacara islam (sebagai syiar agama islam) dan gamelan ini ditabuh atau dibunyikan pada pekan sekatenan atau grebeg mulud pada setiap bulan kelahira Nabi Muhamad S.A.W. Serta pada setiap acara grebeg-grebeg yang lain. Keraton Surakarta memiliki dua perangkat gamelan sekaten (Gamelan Sekaten Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu) dan kedua gamelan ini berlaras pelok. Gamelan ini sengaja dibuat dengan ukuran yang besar supaya berbeda dengan gamelan yang lain.
Berikut ini adalah komposisi  ricikan yang dapat dilihat dan digunakan pada kedua perangkat
gamelan sekaten yang terdapat pada Keraton Surakarta. Masing-masing adalah:
- Satu rancak bonang (penembung)
- Dua rancak saron demung
- Dua rancak saron barung
- Dua rancak saron penerus
- Satu rancak kempyang(berisi dua pencon)
- Sebuah bedhug
- Sepasang atau dua buah gong besar
Semua perangkat gamelan ini dibuat dari bahan perunggu dan larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada pada wilayah jangkauan atau ambitus suara normal maka dengan itu tidak melibatkan vokal dalam penyajiannya. Gendhing yang biasa disajikan antara lain:
- Ladrang Rambu dan Rangkung laras pelok patet lima
- Ladrang Barang Miring laras pelok patet barang
Konon gamelan ini berasal dari satu perangkat gamelan yang sama, yang dulunya terdapat dan digunakan pada pekan sekaten di Demak. Kemudian tradisi ini dilanjutkan di Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). gamelan ini biasanya ditempatkan di depan halaman Masjid Agung, yang masing-masing gamelan mempunyai tempat sendiri-sendiri (bangsal), kemudin disebut bangsal Pagongan.
5. Gamelan Ageng
Perangkat gamelan standar (lengkap jenis ricikannya) dengan berbagai jenis kombinasi dan di dalam kehidupan sehari-hari hampir selalu di gunakan untuk berbagai keperluan, dari ritual masyarakat yang paling profan dan untuk hiburan (komersial). Dari perangkat gamelan ini dapat di bentuk perangkat gamelan lainnya dengan komposisi, nama dan kegunaan yang bervariasi. Diantarannya: perangkat klenengan, wayangan, gadhon, cokekan, siteran dan sebagainya serta di dalam perangkat gamelan ini juga terdapat gamelan Super. Gamelan ini adalah salah satu bentuk pengembangan ukuran, jenis, dan jumlah dari unsur, terutama ricikan perangkat gamelan ageng {bila gamelan ageng cukup memiliki dua buah saron barung , satu saron penerus dan satu demung tetapi kalau  pada perangkat gamelan super memiliki dua kalinya gamelan ageng (balungan) jumlah tersebut masih di kembangkan dengan di tambahnya beberapa kempul, kenong, gong, dan sebagainya pada masing-masing  laras (slendro dan pelok) yang jumlahnya relatif dan menurut selera sipemesan gamelan.
Perkembangan dan pengembangan perangkat gamelan menjadi semakin meningkat dan beragam baik kualitas maupun kuantitasnya. Seperti instrumen dan permainan musik dari luar dunia gamelan (terompet, drum set, keyboard, dan lain-lain).
Bagi masyarakat Jawa, perangkat gamelan dalam seni karawitan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Sebagai bangsa yang memiliki kultur budaya jawa, kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat.
Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).

***dari berbagai sumber


Mengapa selalu dengar radio