Makna Sesaji menurut Para Leluhur Jawa, Nusantara dan Islam
DI masa lalu, leluhur kita menghormati keberadaan mahluk halus karena para leluhur kita tahu bahwa mereka hidup berdampingan dengan banyak makhluk halus.
Banyak cara leluhur menghormati keberadaan para makhluk halus itu. Beberapa di antaranya adalah dengan memelihara kawasan-kawasan keramat, seperti hutan-hutan lindung, pepohonan besar, punden-punden yang menjadi rumah mereka.
Juga memberikan sesajen kepada mereka berupa kemenyan dan bunga-bunga karena makhluk gaib suka dengan bau wewangian.
Sebetulnya bukan soal sesajen itu yang terpenting, melainkan energi baik yang dipancarkan kepada mereka.
Pemberian sesajen itu tidak serta-merta kalau para leluhur menyembah dan mengabdi kepada mereka, tapi upaya untuk menghormati keberadaan makhluk gaib sebangsa jin dan lainnya. Ini yang sering disalahpahami.
Kadang kita yang belum memahami, dengan mudah menyebut tindakan itu dengan sebutan syirik.
Padahal, kita tidak memahami maksud leluhur kita. Dan yang lebih celaka, banyak di antara kita yang belum paham apa itu makna syirik yang sesungguhnya.
Bukankah kita ini khalifah, pemimpin di muka bumi ini? Kalau kita adalah khalifah, makhluk paling hebat di jagat raya, bukankah seharusnya kita mengasihi siapa saja yang hidup bersama kita dan memakmurkan bumi yang kita tempati ini?
Tetapi, yang tidak bisa dipungkiri, pemberian sesajen semacam itu pun kadang mengarah pada penyembahan, permohonan dengan syarat-syarat tertentu. Ini yang terlarang dan bertentangan dengan ajaran syariat agama Islam.
Kita tak boleh menyembah pada apa pun selain kepada Sang Khaliq, Allah SWT. Jika kita bisa bersikap bijak, insya Allah tanah tempat kita hidup tidak akan menjadi aeng (gersang dan tidak nyaman) seperti yang saat ini banyak kita jumpai.
Hormati keberadaan mereka sebagai makhluk Allah, tapi jangan sampai terjerumus ke dalam penyembahan dan pengabdian kepada mereka.
Maka tidak heran jika Emha Ainun Najib atau Cak Nun sering menyebut jika syirik tempatnya ada di hati, tidak bisa dilihat dengan kasat mata.
Seperti kasus di atas, jika sesaji itu dibuat sebagai bentuk nguri-uri dan melestarikan tradisi-budaya, serta sebagai bentuk penghormatan dan belas kasih kepada sesama makhluk Allah seperti jin, maka hukumnya dalam Islam diperbolehkan.
Beda halnya jika sesaji itu diberikan untuk sesembahan sehingga berharap pada berkah, maka hukumnya adalah haram dan syirik. Kita tahu, syirik adalah dosa paling berat nomor satu. (*)
Editor: Islam Cendekia