Ditengah-tengah
gempuran budaya-budaya asing, baik dari Barat maupun dari Timur Tengah
yang terus berupaya menggerus warisan budaya dan tradisi bangsa
kita.Budaya barat yang Hedonis dan Liberalis kita sebut sebagai budaya
Arus Kiri, sedangkan budaya Timur Tengah yang Primordialis dan anti
perbedaan (Unegaliter) kita namai sebagai budaya Arus Kanan.Budaya barat
mendominasi didunia entertainment kita mengubah wajah hiburan kita
menjadi hingar bingar gemerlap dengan hedonisme merusak sendi-sendi
kesantunan dan etika budaya bangsa kita. Budaya Timur Tengah muncul di
mimbar-mimbar dakwah, menawarkan slogan-slogan kekerasan yang anti pada
perbedaan, anti pada budaya dan tradisi negeri sendiri, dimana tradisi
adiluhung warisan nenek moyang dianggab sebagai bid’ah yang harus
dimusnahkan. Setiap ada perbedaan maka mereka akan turun kejalan-jalan
sambil membawa Pentungan.
Dalam upaya untuk nguri-nguri tradisi
bangsa sendiri, karena menurut pemahaman penulis tradisi-tradisi yang
merupakan warisan dari nenek moyang bangsa kita itu menawarkan kearifan
yang lebih cocok bagi kepribadian bangsa kita. Salah satu budaya yang
masih terekam begitu indah di kalbu penulis adalah tembang-tembang
macapatan. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengajak kita semua
untuk sekedar menyelami makna yang terkandung didalam tembang-tembang
macapat tersebut.
Macapat merupakan tembang klasik asli
Jawa, dan pertama kali muncul adalah pada awal jaman para Wali Songo,
dimana para wali pada saat itu mencoba berdakwah dan mengenalkan Islam
melalui budaya dan diantaranya adalah tembang-tembang macapatan ini.Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat serta Sunan Kudus adalah kreator
awal munculnya tembang-tembang macapat. Apabila diperhatikan dari
asal-usul bahasanya(kerata basa), macapat berarti maca
papat-papat(membaca empat-empat).
Kalo berdasarkan jenis dan urutannya
tembang macapat ini sebenarnya menggambarkan perjalanan hidup manusia,
tahap-tahap kehidupan manusia dari mulai alam ruh sampai dengan
meninggalnya.
Sebagaimana dalam Al-qur’an disebutkan:
“Latarkabunna Thobaqon An Thobaq”, “Sungguh kamu akan menjalani fase
demi fase kehidupan”
Berikut ini penulis rangkaikan urut-urutan dari jenis tembang macapat:
1. Maskumambang
Adalah gambaran dimana manusia masih di
alam ruh, yang kemudian ditanamkan dalam rahim/ gua garba ibu kita.
Dimana pada waktu di alam ruh ini Allah SWT telah bertanya pada ruh-ruh
kita: “Alastu Bi Robbikum”, “Bukankah AKU ini Tuhanmu”, dan pada waktu
itu ruh-ruh kita telah menjawabnya: “Qoolu Balaa Sahidna”, “Benar (Yaa
Allah Engkau adalah Tuhan kami) dan kami semua menjadi saksinya”.
2. Mijil
Merupakan ilustrasi dari proses kelahiran
manusia, mijil/mbrojol/mencolot dan keluarlah jabang bayi bernama
manusia. Ada yang mbrojol di India, ada yang di China, di Afrika, di
Eropa, di Amerika dst. Maka beruntunglah kita lahir di bumi pertiwi yang
konon katanya Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharjo Lir
Saka Sambikala. Dan bukan terlahir di Somalia, Etiopia atau
negara-negara bergizi buruk lainnya.
3. Sinom
Adalah lukisan dari masa muda, masa yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.
4. Kinanthi
Masa pembentukan jatidiri dan meniti
jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun
yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar
cita-cita kita bisa terwujud. Misalnya belajar dan menuntut ilmu secara
sungguh-sungguh.”Apa yang akan kita petik esok hari adalah apa yang
kita tanam hari ini”.
“In Ahsantum, Ahsantum ILaikum, Walain
Asa’tum Falahaa”, “Jika kamu berbuat kebajikan maka kebajikan itu akan
kembali padamu, tapi jika kamu berbuat jahat itu akan kembali padamu
juga”.
5. Asmarandana
Menggambarkan masa-masa dirundung asmara,
dimabuk cinta, ditenggelamkan dalam lautan kasih. Asmara artinya cinta,
dan Cinta adalah ketulusan hati, meminjam istilahnya kang Ebiet G.Ade
dalam lagunya: “ Cinta Yang Kuberi Setulus Hatiku Entah Apa Yang
Kuterima Aku Tak Peduli”.
Cinta adalah anugerah terindah dari Gusti
Allah dan bagian dari tanda-tanda keAgungan-Nya. “…..Waja’alna Bainakum
Mawwaddah Wa Rahmah, Inna Fi Dzaalika La’aayatil Liqoumi
Yatafakkaruun”. “…Dan Kujadikan diantara kalian Cinta dan Kasih Sayang,
sesungguhnya didalamnya merupakan tanda-tanda(Ke-Agungan-Ku) bagi kaum
yang berfikir”.
6. Gambuh
Awal kata gambuh adalah jumbuh / bersatu
yang artinya komitmen untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah
tangga. Dan inti dari kehidupan berumah tangga itu yaitu: “ Hunna Li
Baasulakum, Wa Antum Libaasu Lahun”, “Istri-istrimu itu merupakan
pakaian bagimu, dan kamu adalah merupakan pakaian baginya”.
Lumrahnya fungsi pakaian adalah untuk menutupi aurat, untuk melindungi dari panas dan dingin.Dalam
berumah tangga seharusnya saling menjaga, melindungi dan mengayomi satu
sama lain, agar biduk rumah tangga menjadi harmonis dan sakinah dalam
naungan Ridlo-Nya.
7. Dhandhanggula
Gambaran dari kehidupan yang telah
mencapai tahap kemapanan sosial, kesejahteraan telah tercapai, cukup
sandang, papan dan pangan (serta tentunya terbebas dari hutang piutang).
Kurangi Keinginan Agar Terjauh Dari Hutang, sebab kata Iwan Fals: “
Keinginan adalah sumber penderitaan ”.Hidup bahagia itu kuncinya adalah
rasa syukur, yakni selalu bersyukur atas rezeki yang di anugerahkan
Allah SWT kepada kita.
8. Durma
Sebagai wujud dari rasa syukur kita
kepada Allah maka kita harus sering berderma, durma berasal dari kata
darma / sedekah berbagi kepada sesama. Dengan berderma kita tingkatkan
empati sosial kita kepada saudara-saudara kita yang kekurangan,
mengulurkan tangan berbagi kebahagiaan, dan meningkatkan kepekaan jiwa
dan kepedulian kita terhadap kondisi-kondisi masyarakat disekitar kita.
“Barangsiapa mau meringankan beban
penderitaan saudaranya sewaktu didunia, maka Allah akan meringankan
bebannya sewaktu di Akirat kelak”.
9. Pangkur
Pangkur atau mungkur artinya
menyingkirkan hawa nafsu angkara murka, nafsu negatif yang menggerogoti
jiwa kita. Menyingkirkan nafsu-nafsu angkara murka, memerlukan riyadhah /
upaya yang sungguh-sungguh, dan khususnya di bulan Ramadhan ini mari
kita gembleng hati kita agar bisa meminimalisasi serta mereduksi
nafsu-nafsu angkara yang telah mengotori dinding-dinding kalbu kita.
10. Megatruh
Megatruh atau megat roh berarti
terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya Ruh / Nyawa menuju
keabadian (entah itu keabadian yang Indah di Surga, atau keabadian yang
Celaka yaitu di Neraka).
“ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut “, “ Setiap Jiwa Pasti Akan Mati “.
“ Kullu Man Alaiha Faan “, “ Setiap Manusia Pasti Binasa “.
Akankah kita akan menjumpai Kematian Yang Indah (Husnul Qootimah) ataukah sebaliknya ?
Seperti kematian Pujangga kita WS Rendra,
disaat bulan sedang bundar-bundarnya (bulan Purnama) ditengah malam
bulan Sya’ban tepat pada tanggal 6 Agustus atau tanggal 15 Sya’ban
(Nisfu Sya’ban).
Diatas ranjang kematiannya, menjelang saat-saat Sakratul Mautnya dia bersyair:
“ Aku ingin kembali pada jalan alam,
“ Aku ingin meningkatkan pengabdian pada Allah,
“ Tuhan aku cinta pada-Mu ”
11. Pocung (Pocong / dibungkus kain mori putih)
Manakala yang tertinggal hanyalah jasad
belaka, dibungkus dalam balutan kain kafan / mori putih, diusung
dipanggul laksana raja-raja, itulah prosesi penguburan jasad kita menuju
liang lahat, rumah terakhir kita didunia.
“ Innaka Mayyitun Wainnahum Mayyituuna “, “ Sesungguhnya kamu itu akan mati dan mereka juga akan mati”.
sumber: penulis rudy setyawan- kompasiana, link : http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/04/filsafat-dibalik-tembang-macapat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar