Inilah Alasan Sum Indra “Tak Layak Jadi Walikota Jambi”

M. Sum Indra dan dr. Maulana saat Deklarasi SIMPATIK
Muhammad Sum Indra, SE., MMSI. yang kerap disapa
Bang Sum
oleh warga Kota Jambi ini, tidak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi
seorang politisi. Sejak remaja, suami Luthfi Chalisyah Chaliri itu,
selalu mendambakan masa-masa hidupnya dihabiskan untuk menimba ilmu
bersama murid-murid yang mengelilinginya. Ia ingin sekali menjadi
seorang pengajar, entah itu guru, dosen atau apapun, yang penting
baginya, ia dapat memberi ilmu dan mendidik sebanyak-banyaknya anak
didik. Baginya, profesi itu amatlah mulia. “Berkat guru-guru lah, kita
bisa menjadi”, demikian ia mengungkapkan kekagumannya pada profesi guru.
Rupanya Tuhan mengabulkan keinginannya, Sum Indra pun menjadi dosen dan
sangat bersungguh-sungguh menjalankan profesi yang didamba-dambakannya
itu.
Namun nasib bicara lain, melihat kenyataan hidup warga Kota Jambi
yang semakin tertinggal oleh kemajuan hidup warga di belahan wilayah
Indonesia lainnya, lelaki yang murah senyum dan terkenal dengan
kepeduliannya terhadap sesama ini, merasa terpanggil untuk mengambil
peranan terpenting dalam usaha mengangkat derajat kehidupan warga Kota
Jambi. Lagi-lagi, niat baiknya itu dikabulkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sum
Indra pun diberi amanah untuk menjadi Wakil Walikota Jambi periode 2008
– 2013. Panggilan serupa pun dirasakannya kini, ketika hampir seluruh
warga Kota Jambi menuntut dirinya untuk berbuat lebih banyak, dan tampil
sebagai yang terdepan dalam memimpin kota ini. Ia pun didaulat ratusan
ribu warga untuk mencalonkan diri sebagai Walikota Jambi berikutnya.
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan, Sum Indra
tentu saja tahu persis, bahkan sangat memahaminya, bahwa istilah
“pahlawan tanpa tanda jasa”, bukan sekedar sebutan, melainkan sebuah
filosofi hidup yang harus ditanamkan dalam jiwa serta dipegang teguh
dalam menjalankan pengabdian hidupnya. Prinsip ini mengajarkan;
keikhlasan dalam berbuat adalah yang terutama, tak menuntut penghargaan
atas hasil kerja yang dilakukan adalah kemestian yang harus diterima.
Bahkan, kerap kali, keberhasilan kerjanya sering tak diakui. Oleh sebab
itu, Sum Indra sama sekali tak terganggu dengan serangan dan intrik
politik yang menghilangkan peran dan hasil kinerjanya sebagai Wakil
Walikota saat ini. Ia sadar sepenuhnya, betapapun hebatnya hasil kerja
seorang wakil, tentu Walikota lah yang mendapat pujiannya. Demikian
sebaliknya, baik, terutama buruknya, kinerja seorang Walikota, wakilnya
pasti terbawa-bawa.
Kendati demikian, agaknya persaingan politik dengan cekatan memutar
balikan alur cerita. Kelemahan posisi Sum Indra sebagai Wakil Walikota
saat ini, rupa-rupanya menjadi sasaran empuk serangan yang dilancarkan
oleh sejumlah pihak yang tidak setuju, atau mungkin tidak memahami,
bahkan bisa jadi iri, dengan ide-ide baru yang ditawarkan Sum Indra
untuk membangun Kota Jambi. Memang tidak ada jaminan Sum Indra dapat
memperbaiki keadaan, tetapi di sisi yang lainnya, pengalaman Sum Indra
sebagai pelaku pembangunan Kota Jambi sering disepelekan. Hebatnya lagi,
yang membuat kebanyakan warga Jambi terheran-heran adalah, ketika visi
dan misi pembangunan Sum Indra yang dirancang dari pengalamannya sebagai
Wakil Walikota itu, direndah-rendahkan dan dibanding-bandingkan dengan
gagasan pihak-pihak lain yang dipuji-puji, yang padahal sama sekali
belum mengenal seluk-beluk pembangunan Kota Jambi, jauh dari kata
teruji.
Selain itu, Sum Indra juga disebut-sebut sebagai seorang yang tak
punya integritas, ambisius, dan sengaja mencari jabatan untuk
melanggengkan kejayaan usaha keluarganya. Itulah hal-hal yang selalu
dijadikan senjata untuk menyerang Sum Indra, tepatnya, sebagai usaha
untuk mempengaruhi warga Kota Jambi untuk tidak memilih Sum Indra.
Padahal, warga Kota Jambi yang kini sudah jauh sangat cerdas, telah
dapat memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang mengada-ada.
Jika diteliti, inilah alasan sederhana dan cenderung mengada-ada yang
digunakan sejumlah pihak untuk mempengaruhi warga untuk tidak memilih
Sum Indra, yaitu;
Pertama, Sum Indra tidak berprestasi selama
menjadi Wakil Walikota. Alasan ini selalu dijadikan senjata andalan
oleh segelintir orang untuk mempengaruhi warga agar tidak memilih Bang
Sum (demikian lelaki yang aktif diberbagai kegiatan sosial ini disapa
warga) dalam Pilkada Jambi nani. Padahal, menurut aturan yang berlaku
(UU No 32/2004), tugas seorang Wakil Walikota itu hanya membantu
Walikota di bidang pengawasan. Maka wajar jika dikatakan Sum Indra tidak
berprestasi, sebab hasil kinerja pengawasan itu kemudian dijadikan
sebagai dasar bagi Walikota untuk mengambil berbagai kebijakan penting,
sehingga keberhasilan dari kebijakan itu lekat sekali dengan prestasi
Walikota. Pasti, tidak akan ada yang menyebut itu sebagai prestasi Wakil
Walikota.
Lagipula, aturan itu sudah benar adanya, pembagian peran yang
demikian tentu punya maksud baik, yakni agar Wakil Walikota fokus pada
pengawasan dan evaluasi, sehingga kepala daerah dapat dengan mudah
mengambil kebijakan-kebijakan strategis. Tetapi jika Wakil Walikota
telah melakukan tugasnya sebaik mungkin, namun tidak ada kebijakan dari
pemerintah Kota yang efektif dan efisien menyentuh warga, tentu yang
perlu dipertanyakan adalah apakah Walikota sudah mengambil kebijakan
yang sesuai dengan laporan pengawasan wakilnya? Sekali lagi, wajar jika
Wakil Walikota tidak terlihat prestasinya, ia pun layak disebut sebagai
“pahlawan tanpa tanda jasa”. Adalah salah jika Sum Indra terlalu
melampaui batas wewenangnya (meskipun itu sesekali dilakukannya), sebab
hal itu akan mengakibatkan adanya “dua matahari” dalam kepemimpinan
pemerintahan Kota Jambi. Bisa dibayangkan, bagaimana bisa seorang Wakil
Walikota lebih dihargai ketimbang Walikotanya? Tentu saja itu bukan hal
yang baik untuk terus disaksikan di Kota Jambi.
Masih soal tak punya prestasi. Terlepas dari berbagai hasil kerja Sum
Indra yang diabaikan dan tak banyak diketahui masyarakat, adalah wajar
juga jika ia terpacu semangatnya untuk berprestasi. Kita bisa sama-sama
membayangkan, juga merasakan; ketika kita tahu persoalan, tahu
solusinya, ingin sekali menyelesaikannya, tapi apa daya, posisi dan
kesempatan yang ada tidak memungkinkan. Tentu saja, “mengurut dada”
adalah satu-satunya cara untuk sabar, sembari berdoa agar kelak kita
diberikan kesempatan untuk melakukan yang tak bisa kita lakukan
sekarang. Sesederhana itu kita bisa meraba dan memaklumi semangat Sum
Indra untuk meraih prestasi, atau setidak-tidaknya ia ingin mewujudkan
solusi, hasil pengawasannya dalam bentuk kebijakan yang nyata dan
langsung dirasakan oleh masyarakat. Ia agaknya sadar, bahwa hasil
pengawasan yang selama ini telah dilakukannya memang tidak berdampak
langsung dan serta merta bagi kesejahteraan warga, tetapi tentu saja hal
itu akan menjadi prestasi tersendiri jika ia kelak mampu mewujudkan
hasil pengawasannya secepat mungkin dalam kebijakan bagi warga Kota
Jambi. Dalam hal ini, sekali lagi, wajar jika ini saatnya bagi Sum Indra
untuk memperlihatkan hasil kinerjanya selama ini, dan jika dalam waktu
singkat ia mampu merealisasikannya, wajar pula jika kita “tak lagi bisa
mengatakan bahwa Sum Indra tidak berprestasi”.
Kedua, Sum Indra disebut-sebut tak punya
integritas dan ambisius soal jabatan. Kita seringkali mudah tertipu
dengan manipulasi kata-kata yang negatif. Terutama menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan kritik terhadap pemangku suatu jabatan. Sum Indra
dikatakan tak punya integritas hanya karena ia seringkali bertentangan
dengan Walikota dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan yang
pro-rakyat. Sebagai yang bertugas mengawasi, Sum Indra mestinya lebih
mengetahui kondisi pembangunan di kota ini. Wajar jika ia sering
menentang kebijakan Walikota yang tidak sesuai dengan hasil
pengawasannya. Bukankah itu yang kita harapkan? Sekali lagi, apa yang
bisa diperbuat seorang wakil dalam keadaan seperti itu? Hanya stempel
tak punya integritas-lah yang ia terima, akibat tak mampu merealisasikan
hasil pengawasannya dalam keputusan Walikota. Agaknya kita perlu
merenung sejenak, bukankah tidak fair bagi siapapun untuk berkata
demikian?, tapi bahwa sebahagian terbesar warga Kota Jambi berkata Sum
Indra tidak layak jadi Wakil Walikota, kita perlu membenarkan, sebab
dilihat dari kasus ini, Sum Indra semestinya memiliki fungsi sebagai
pengambil kebijakan atau Walikota.
Selanjutnya, tentu sangat aneh bagi kita yang memahami pengertian
“integritas” secara utuh, jika seringnya Sum Indra bertentangan dengan
Walikota dikatakan tidak punya integritas. Seperti yang kita pahami
bersama, “integritas” itu secara sederhana diartikan sebagai
konsistensi. Jika Sum Indra bersikeras mempertahankan argumennya
berdasarkan hasil pengawasannya, apakah kita sampai hati mengatakan hal
itu tidak konsisten? Tentu kita semua bisa menjawabnya sendiri.
Kemudian soal ambisius, karena Sum Indra tidak memiliki integritas,
ia juga dicap sebagai haus jabatan, ambisius mengejar kedudukan karena
mencalonkan diri sebagai Walikota berikutnya. Padahal bagi kita warga
Jambi yang cerdas dan cermat memahami kondisi ini, tentu tidak akan
semudah itu terlena oleh manipulasi dan plintiran isu semacam itu.
Karena, bisa saja integritas seseorang ditunjukan dengan niatnya untuk
memperbaiki keadaan. Sum Indra tidak mengklaim pemerintahan Kota Jambi
saat ini berhasil, ia juga mengakui banyak kekurangan sebagaimana yang
dikritik banyak pihak. Tapi ia tidak lari dari tanggungjawabnya untuk
meneruskan program-program yang tidak direalisasikan atau bahkan
dihilangkan sama sekali. Wajar jika ia menginginkan punya kesempatan dan
kewenangan lebih, barangkali ia ingin menunjukan bukti integritasnya
pada pembangunan Kota Jambi, yang sampai masa-masa akhir jabatannya
sebagai Wakil Walikota belum menunjukan gerak yang signifikan.
Ketiga, Sum Indra diduga mencari jabatan
untuk melanggengkan kejayaan usaha keluarganya. Memang tak ada yang
memungkiri bahwa usaha keluarga besar Sum Indra cukup baik. Tapi tak
elok pula, bahkan dapat dikatakan sama sekali kita tak punya hak untuk
menduga Sum Indra senegatif itu. Lagipula, apalah kekuasaan seorang
Walikota Jambi jika diandalkan untuk menyelamatkan usaha keluarga besar
Sum Indra yang, konon, sudah berskala internasional, yang memang tak ada
yang perlu diselamatkan karena semuanya baik-baik saja.
Di era reformasi dan disaat semangat transparansi publik di Indonesia
demikian ketat kini, hampir dipastikan tak ada lagi ruang bagi pejabat
manapun, baik lokal hingga nasional, untuk bermain-main dengan publik.
Kita bisa sama-sama melihat akibatnya, telah berapa banyak petinggi
negeri ini yang dibui, berapa banyak perusahaan keluarga besar yang
menggelepar karena ulah-ulah mereka yang ingkar. Rasanya cukuplah itu
jadi contoh bagi Sum Indra untuk tidak bermain-main dengan jabatan, atau
acuh dengan rakyat dan pura-pura tak mendengar.
Mungkin jika kita boleh memberikan saran untuk Sum Indra, barangkali
jika ia sekedar ingin melanggengkan usaha keluarga besarnya, atau ingin
mencari untung sebesar-besarnya, tak usahlah berusaha meraih jabatan
sebagai walikota, cukup fokus mengurusi usaha keluarganya saja. Tapi
jika dengan kemapanan usaha keluarga sekarang, Sum Indra tak perlu lagi
memikirkan ekonomi pribadi dan keluarga, maka rasanya seluruh warga Kota
Jambi akan menyambut niat baik Sum Indra itu dengan tangan terbuka.
Nyatanya, hal ini terbukti ketika kian hari kian deras saja, ratusan
ribu warga berbondong-bondong menyampaikan dukungan kepadanya.
Mungkinkah warga kota ini memang menginginkan pemimpinya tak lagi repot
memikirkan keuntungan pribadi dan keluarga? Mungkinkah sosok itu ada
pada Sum Indra? Bisa jadi demikian.
Mencermati ketiga alasan tentang ketidak layakan Sum Indra untuk
dipilih sebagai Walikota Jambi di atas tadi, rasanya alasan itu cukup
masuk akal dan wajar dilancarkan oleh lawan-lawan politiknya. Dikatakan
wajar, karena hanya tiga alasan itu saja yang ada dan dapat diolah untuk
menyudutkan posisi Sum Indra. Lagipula, tiga alasan tadi cukup mampu
mempengaruhi pikiran kita jika kita tidak cermat menilainya. Namun dari
sudut pandang dan pola pikiran yang jernih untuk kebaikan, kita dapat
memaklumi, bahkan dapat dengan tegas menolak tiga alasan yang telah
ternyata terbukti mengada-ada itu.
Warga Kota Jambi khususnya, umumnya masyarakat bangsa Indonesia,
sudah berpengalaman dan cerdas dalam berpolitik, berdemokrasi. Kita
telah terlatih untuk memilah dan memilih mana yang baik bagi bangsa dan
negara kita, mana yang tidak. Kita juga telah memiliki pengalaman
kebangsaan yang mumpuni untuk sedapat mungkin memilih pemimpin, baik
lokal maupun nasional, yang tidak sekedar menjanjikan perubahan dan
kebangkitan yang cepat, namun nyata-nyata belum atau tidak teruji sama
sekali. Kita butuh pemimpin yang berpengalaman, dan jauh lebih penting,
pemimpin yang sudah mengenal persoalan kota ini dengan baik, sehingga ia
tak akan lagi coba-coba saat melakukan program apapun untuk
sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Dari semua yang telah diuraikan itu, rasanya tak ada lagi alasan bagi
warga Kota Jambi untuk tidak memberikan kesempatan lebih banyak, dan
posisi yang lebih tepat bagi Sum Indra untuk membuktikan integritasnya,
menepis semua dugaan negatif pihak-pihak yang ingin menjatuhkannya, dan
membawa Kota Jambi ini berprestasi di tingkat lokal, regional, nasional
bahkan hingga kancah internasional. Namun demikian, semoga prinsip
hidupnya selama ini tetap dipegang teguh bahwa; untuk menjadi seorang
pahlawan tidak melulu perlu tanda jasa, seperti yang telah Sum Indra
lakukan selama ini. Semoga demikian adanya.