Radio News Muaro jambi . Dari satu segi
orang Jawa itu bersifat “nrimo”, tapi di segi lain juga otoriter.
Demikian ucapan yang menonjol pada acara ceramah dan diskusi yang
diselenggarakan oleh warga asal Jawa di Belanda pada hari Ahad 26 Mei 2013 lalu.
Ceramah dan
diskusi yang menggunakan bahasa Belanda ini digelar oleh Stg Setiga Jawa
ing Flevoland (SJiF) di Almere, kota yang dibangun di atas tanah hasil
reklamasi yang terletak 30 meter di Utara Amsterdam.
Pembicara utama adalah Edward Moedjito Redjopawiro, seorang warga Suriname asal Jawa yang tengah menulis disertasinya di bidang hukum.
Dalam sambutannya
ketua SJiF, Kaboel Karso, mengatakan pertemuan ini adalah bagian dari
kegiatan mensosialisaskan budaya dan sejarah orang Jawa.
Dalam ceramahnya,
yang dihadiri warga Jawa dari berbagai penjuru Belanda itu, Edward
mengajak para hadirin untuk meninjau kembali sejarah imigrasi warga Jawa
ke Suriname.
Pertama “wong
Jowo” Suriname yang pernah mengikuti pendidikan militer di Kuba ini
mempertanyakan apakah imigrasi itu bisa dikatakan imigrasi orang Jawa. Karena
para buruh kontrak yang bertolak ke Suriname itu tidak semuanya dari
suku Jawa, katanya. Banyak juga orang dari suku Sunda, Madura dan juga
orang Sumatra. Selain itu ada pula yang tidak seratus persen berdarah
Jawa, tambahnya. Contohnya dirinya sendiri.
“Nenek saya berasal dari Papua dan hidung saya agak mancung,“ guyonnya yang disambut ketawa publik.
Tahun kedatangan migran Jawa ke Surinma juga dipertanyakan. Apakah hijrah warga Jawa itu dimulai pada tahun 1890 atau 1853?
Menurut catatan
resmi, rombongan pertama buruh kontrak asal Jawa tiba di Paramaribo, ibu
kota Suriname, pada tanggal 9 Agustus 1890. Sementara 20-Oktober 1853
dikenal sebagai tanggal kedatangan migran Cina, yang dikatakan bertolak
langsung dari negeri leluhur mereka.
Edward meragukan
1890 sebagai tahun kedatangan rombongan pertama orang Jawa ke Suriname.
Pasalnya puluhan tahun sebelum itu sudah ada orang Jawa di Suriname,
Edward berargumen.
Masalah-masalah
lain yang dibicarakan dalam ceramah itu adalah keinginan warga Jawa
untuk pulang ke tanah leluhur atas dorongan apa yang disebutnya dalam
bahasa Belanda terugkeerideologie atau ideologi pulang kampung.
Edward
menceritakan pula, mayoritas orang Jawa yang hijrah ke Suriname adalah
karena terpaksa. Mereka merasa kecewa. Maka pada tahun lima puluhan abad
lalu banyak yang ingin pulang ke Indonesia yang waktu itu baru merdeka.
Akhirnya memang
ada yang pulang, tapi mereka dipaksa Soekarno untuk tinggal di Sumatra,
tidak di pulau Jawa seperti yang mereka inginkan. Dan ini adalah
kekecewaan kedua kalinya. “Mereka tidak menemukan syurga yang mereka
rindukan,” tandas Edward.
Topik yang juga banyak dibicarakan dalam ceramah itu adalah adat atau dalam bahasa Belandanya gewoonterecht.
Kebiasaan Jawa yang mereka bahwa ke Suriname misalnya tradisi atau
kepercayaan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting seperti
kelahiran, perkawinan dan tradisi Jawa lainnya.
Yang dibahas
panjang lebar terutama adalah adat gotong royong. Kebiasaan ini masih
terjadi di kampung-kampung orang Jawa di Suriname seperti gotong royong
panen di sawah, membangun rumah dan sebagainya.
Seusai ceramah muncul diskusi sengit. Dan masalah yang sangat banyak ditanggapi selain soal
gotong royong juga budaya ‘nrimo”. Dalam diskusi yang dipimpin Johan
Raksowidjojo itu, seorang anggoa panel Anne Sastromedjo mengatakan,
bahwa budaya “nrimo ayem” itu menghambat kemajuan orang Jawa.
Dari publik muncul
suara yang mengungkap karakter orang Jawa sebagai berikut. “Dari satu
segi mereka nrimo, tapi di segi lain otoriter,” katanya.
Anne Sastromedjo,
yang bekerja sebagai senior advisor di pemkot Amsterdam itu juga
menyayangkan terjadinya perpecahan di kalangan warga Jawa Suriname, yang
disebabkan oleh para kiai yang menyalahgunakan kekuasaanya. Proses
konservatisme muslim di kalangan masyarakat Jawa Suriname itu disebutnya
dalam bahasa Belanda “hadijinisering” atau hajinisasi. Ini menyebabkan perpecahan di masyarakat Jawa, katanya.
Seorang anggota panel diskusi muda berpendapat tradisi Jawa gotong royong itu bisa diterapkan dalam kehidupan individualistik sekarang. Ia mengusulkan agar hukum adat yang tersirat itu dijadikan hukum tersurat.
Ketika diwawancara
seusai acara ceramah dan diskusi Edward bercerita tentang kakeknya.
“Kakek saya bernama Tokariyo asal Ponorogo. Ia termasuk orang-orang Jawa
yang berangkat ke Suriname sebagai kuli kontrak. Sebab mereka mendengar
bahwa kerja kontrak di Suriname bisa cepat kaya,” katanya dalam bahasa
Jawa.
Ditanya tentang
peranan Indonesia bagi warga Jawa Suriname Edward mengatakan: “Indonesia
sangat berarti bagi orang Jawa Suriname. Ada keterkaitan karena
imigrasi dan juga hubungan keluarga dan budaya. Anak muda juga mewarisi
rasa keterikatan itu. Generasi muda Jawa Suriname menyukai pop Jawa,
dangdut dan lain-lain”
Yang terakhir ini memang terbukti benarnya. Ketika saya mau pergi, seorang pemuda Jawa memberi saya flyer
konser dangdut yang digelar Juni nanti di Belanda. Konser ini antara
lain menampilkan artis dari Indonesia yaitu Didi Kempot dan Lia Amelia.
ditulis oleh Mantan jurnalis Radio Nederland siaran Bahasa Indonesia. Kini bekerja sebagai relawan di www.indoradio.nl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar