Jumat, 21 Juni 2013

Diskusi Sejarah Jawa Suriname

Radio  News Muaro jambi . Dari satu segi orang Jawa itu bersifat “nrimo”, tapi di segi lain juga otoriter. Demikian ucapan yang menonjol pada acara ceramah dan diskusi yang diselenggarakan oleh warga asal Jawa di Belanda pada hari Ahad 26 Mei 2013 lalu.
Ceramah dan diskusi yang menggunakan bahasa Belanda ini digelar oleh Stg Setiga Jawa ing Flevoland (SJiF) di Almere, kota yang dibangun di atas tanah hasil reklamasi yang terletak 30 meter di Utara Amsterdam.
Pembicara utama adalah Edward Moedjito Redjopawiro, seorang warga Suriname asal Jawa yang tengah menulis disertasinya di bidang hukum.
Dalam sambutannya ketua SJiF, Kaboel Karso, mengatakan pertemuan ini adalah bagian dari kegiatan mensosialisaskan budaya dan sejarah orang Jawa.
Dalam ceramahnya, yang dihadiri warga Jawa dari berbagai penjuru Belanda itu, Edward mengajak para hadirin untuk meninjau kembali sejarah imigrasi warga Jawa ke Suriname.
Pertama “wong Jowo” Suriname yang pernah mengikuti pendidikan militer di Kuba ini mempertanyakan apakah imigrasi itu bisa dikatakan imigrasi orang Jawa. Karena para buruh kontrak yang bertolak ke Suriname itu tidak semuanya dari suku Jawa, katanya. Banyak juga orang dari suku Sunda, Madura dan juga orang Sumatra. Selain itu ada pula yang tidak seratus persen berdarah Jawa, tambahnya. Contohnya dirinya sendiri.
“Nenek saya berasal dari Papua dan hidung saya agak mancung,“ guyonnya yang disambut ketawa publik.
Tahun kedatangan migran Jawa ke Surinma juga dipertanyakan. Apakah hijrah warga Jawa itu dimulai pada tahun 1890 atau 1853?
Menurut catatan resmi, rombongan pertama buruh kontrak asal Jawa tiba di Paramaribo, ibu kota Suriname, pada tanggal 9 Agustus 1890. Sementara 20-Oktober 1853 dikenal sebagai tanggal kedatangan migran Cina, yang dikatakan bertolak langsung dari negeri leluhur mereka.
Edward meragukan 1890 sebagai tahun kedatangan rombongan pertama orang Jawa ke Suriname. Pasalnya puluhan tahun sebelum itu sudah ada orang Jawa di Suriname, Edward berargumen.
Masalah-masalah lain yang dibicarakan dalam ceramah itu adalah keinginan warga Jawa untuk pulang ke tanah leluhur atas dorongan apa yang disebutnya dalam bahasa Belanda terugkeerideologie atau ideologi pulang kampung.
Edward menceritakan pula, mayoritas orang Jawa yang hijrah ke Suriname adalah karena terpaksa. Mereka merasa kecewa. Maka pada tahun lima puluhan abad lalu banyak yang ingin pulang ke Indonesia yang waktu itu baru merdeka.
Akhirnya memang ada yang pulang, tapi mereka dipaksa Soekarno untuk tinggal di Sumatra, tidak di pulau Jawa seperti yang mereka inginkan. Dan ini adalah kekecewaan kedua kalinya. “Mereka tidak menemukan syurga yang mereka rindukan,” tandas Edward.
Topik yang juga banyak dibicarakan dalam ceramah itu adalah adat atau dalam bahasa Belandanya gewoonterecht. Kebiasaan Jawa yang mereka bahwa ke Suriname misalnya tradisi atau kepercayaan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran, perkawinan dan tradisi Jawa lainnya.
Yang dibahas panjang lebar terutama adalah adat gotong royong. Kebiasaan ini masih terjadi di kampung-kampung orang Jawa di Suriname seperti gotong royong panen di sawah, membangun rumah dan sebagainya.
Seusai ceramah muncul diskusi sengit. Dan masalah yang sangat banyak ditanggapi selain soal gotong royong juga budaya ‘nrimo”. Dalam diskusi yang dipimpin Johan Raksowidjojo itu, seorang anggoa panel Anne Sastromedjo mengatakan, bahwa budaya “nrimo ayem” itu menghambat kemajuan orang Jawa.
Dari publik muncul suara yang mengungkap karakter orang Jawa sebagai berikut. “Dari satu segi mereka nrimo, tapi di segi lain otoriter,” katanya.
Anne Sastromedjo, yang bekerja sebagai senior advisor di pemkot Amsterdam itu juga menyayangkan terjadinya perpecahan di kalangan warga Jawa Suriname, yang disebabkan oleh para kiai yang menyalahgunakan kekuasaanya. Proses konservatisme muslim di kalangan masyarakat Jawa Suriname itu disebutnya dalam bahasa Belanda “hadijinisering” atau hajinisasi. Ini menyebabkan perpecahan di masyarakat Jawa, katanya.
Seorang anggota panel diskusi muda berpendapat tradisi Jawa gotong royong itu bisa diterapkan dalam kehidupan individualistik sekarang. Ia mengusulkan agar hukum adat yang tersirat itu dijadikan hukum tersurat.
Ketika diwawancara seusai acara ceramah dan diskusi Edward bercerita tentang kakeknya. “Kakek saya bernama Tokariyo asal Ponorogo. Ia termasuk orang-orang Jawa yang berangkat ke Suriname sebagai kuli kontrak. Sebab mereka mendengar bahwa kerja kontrak di Suriname bisa cepat kaya,” katanya dalam bahasa Jawa.
Ditanya tentang peranan Indonesia bagi warga Jawa Suriname Edward mengatakan: “Indonesia sangat berarti bagi orang Jawa Suriname. Ada keterkaitan karena imigrasi dan juga hubungan keluarga dan budaya. Anak muda juga mewarisi rasa keterikatan itu. Generasi muda Jawa Suriname menyukai pop Jawa, dangdut dan lain-lain”
Yang terakhir ini memang terbukti benarnya. Ketika saya mau pergi, seorang pemuda Jawa memberi saya flyer konser dangdut yang digelar Juni nanti di Belanda. Konser ini antara lain menampilkan artis dari Indonesia yaitu Didi Kempot dan Lia Amelia. 
ditulis oleh  Mantan jurnalis Radio Nederland siaran Bahasa Indonesia. Kini bekerja sebagai relawan di www.indoradio.nl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa selalu dengar radio