Pagi itu pukul 09.00 WIB, di Hotel Bumi Karsa Bidakara, Jakarta,
Dr (HC). Ir. Ciputra dan
Ir. Antonius Tanan MBA, M.Sc , Presiden
Universitas Ciputra Entrepreneurship Center
(UCEC) sudah di Ruang Bima, lantai 2. Peserta diskusi yang diadakan
Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) awal bulan lalu itu
belum ada yang datang.
---
TETAPI
Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, tidak kecewa. Tidak
menunjukkan nada-nada putus asa. Apalagi berencana mogok bicara. Tidak
juga mempertontonkan kegelisahan dari sikap dan wajahnya. Seolah dia
sudah mengerti betul, ya beginilah jika menghadiri undangan pegawai
negeri. Peserta rapat yang rata-rata pejabat lintas departemen itu sudah
bisa dipastikan molor.
Kebetulan, ke mana-mana Ciputra tidak membawa jam tangan, jadi oke-oke
saja. Sambil menunggu, dia sempatkan memprovokasi pejabat-pejabat
Bapenas yang sudah hadir. Bahwa, entrepreneurship adalah jalan yang
ditunjukkan Tuhan bagi negeri ini untuk keluar dari krisis, escape dari
kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketiadaan peluang kerja.
Begitu naik di podium, saya sudah menduga, Pak Ci yang pagi itu terlihat
sangat fit, pasti memainkan gaya orasinya. Saya hanya berdoa,
mudah-mudahan kali ini Pak Ci tampil lebih sabar. Tidak terlalu cepat
logika berpikirnya dibandingkan dengan gerak mulut dan suaranya. Karena
inilah kelemahan Pak Ci, jika terlalu bersemangat. Logika dan pikirannya
berkecepatan 100 km per jam, mulut dan suaranya hanya 75 km per jam.
Akibatnya sering terpeleset dan sering di-seret kalimat-kalimatnya.
Rupanya, pagi itu Tuhan sangat baik. Pidato Pak Ci sangat sempurna.
Logika-logikanya runtut dan gaya bicaranya begitu mantap. Seperti orator
yang sedang mem-brainwash kader-kadernya saja. Persis provokator sedang
mempengaruhi khalayak. Intonasinya juga mengesankan. Tekanan-tekanan
pada kata-kata kuncinya sangat kuat.
Antonius Tanan juga memperlihatkan kelasnya sebagai pimpinan UCEC. To
the point, tidak berbelit, sarat data, sangat menguasai ilmu
entrepreneur dan referensinya oke. Saat presentasi soal up date
perkembangan wirausaha di dunia, Ciputra mempersilakan Antonius
membantunya. Lalu Ciputra menegaskan dan mencontohkan hal-hal riil yang
terjadi di Indonesia.
Misalnya, Antonius menjelaskan soal hasil riset
Gallup tahun 1997, bahwa
7 dari 10 pelajar SMA di AS itu memilih menjadi entrepreneur
dan memulai bisnisnya, daripada menjadi karyawan atau pegawai. Ciputra
pun langsung menyahut dan membandingkan apa yang terjadi di Padang,
Sumatera Barat.
Kota Minang yang dikenal perantau dan sukses membuat rumah makan padang
di mana-mana. Sukses berentrepreneur, sukses menciptakan peluang kerja
dan bisa survive di hampir seluruh penjuru negeri. Namun, sekarang semua
sudah berubah.
"Anak-anak muda Padang sekarang bermimpi menjadi pegawai negeri,
daripada menjadi perantau dan membuka rumah makan Padang. Angka
statistiknya persis dengan di AS namun kebalikannya, 7 dari 10 anak
Padang ingin jadi PNS. Hanya 3 yang masih ingin berwirausaha. Saya sedih
mendengarnya," ucap Ciputra.
Antonius juga menjelaskan soal paradigma yang keliru. Selama ini, hampir
semua orang berasumsi, bahwa persoalan utama pengembangan usaha kecil
adalah ketersediaan modal. Karena itu di mana-mana, orang bicara modal
dan ketersediaaqn Kredit Usaha Kecil (KUK), termasuk distribusinya
seluas mungkin. Celakanya, pandangan ini juga terjadi di kalangan
pemerintah dan masyarakat luas.
Padahal, kata Antonius, masalah pengembangan usaha kecil bukan cuma
persoalan modal. Dengan ilmu entrepreneur, modal itu selalu bisa
diatasi. Entrepreneur adalah disiplin ilmu yang bisa dipelajari dan
harus dipelajari sebelum memulainya. Jadi, Pendidikan dan pelatihan
entrepreneurship adalah kunci utamanya. "Selanjutnya, baru pembangunan
Eco-system dan budaya serta implementasi lapangan, seperti ketersediaan
KUK itu," ujarnya.
Ciputra menambahkan, ada fakta yang ini harus menjadi bahan kajian
Bappenas. Kredit macet Unit Usaha Kecil Menengah (UMKM), yang bernilai
di bawah Rp 5 M mencapai Rp 17,9 Triliun. Itu melibatkan sekitar 1,04
juta usaha kecil! Mengapa? "Mereka belum diajari entrepreneur sudah
dikucurkan modal usaha. Ya, hilang begitu saja. Tak perlu cari siapa
yang salah, karena itu sudah terjadi. Ke depan sebaiknya seperti apa.
Itu yang harus kita pelototi," ujar Ciputra.
Pemerintah harus belajar dari kegagalan. Dulu pola anak angkat bapak
angkat, juga sama. Gagal. Lalu sekarang dikembangkan dengan UMKM, kalau
mau jujur, sebenarnya juga menuju ke kegagalan. Yang paling benar
adalah, dididik dulu ilmu entrepreneur sejak TK, SD, SMP, SMA, sampai
Universitas. "Siapkan 1 persen dari APBN, dari Rp 1.000 Triliun,
alokasikan untuk Training of Trainers (TOT). Jadi setahun punya Rp 10
triliun untuk program pelatihan. Diisi dulu dengan ilmu entrepreneur,
jangan belum paham ilmunya sudah digelontor modal usaha," jelasnya.
Ciputra mengibaratkan, seorang belum mengenakan kaus kaki, sudah
dipasangi sepatu bola dan main 2x45 menit. Ya, pasti lecet-lecet semua.
Pendidikan pun harus benar, tidak bisa hanya sekedar pelatihan 3-7 hari,
atau seminggu, atau sebulan, terus diterjunkan dalam bisnis yang sangat
keras. Pasti mereka akan kalah bersaing dan gulung tikar.
Pendidikan yang betul, harus melalui proses yang benar. Ilmu
entrepreneur ini tidak hanya sekedar diberi kuliah pagi sore. Tetapi
harus diimbangi dengan praktik. Mereka juga harus diajar oleh
orang-orang yang sudah punya pengalaman berbisnis. Dikombinasi antara
teori dan praktik. Seperti anak belajar berenang. Dia harus memahami
teori, garis-garis besarnya, lalu harus ikut "basah" menceburkan diri di
kolam. "Tidak cukup diberi teori, terus suruh loncat di kolam sendiri,
pasti akan tenggelam," ujar Ciputra.
Sama juga dengan belajar sepeda roda dua. Lebih banyak harus
dipraktikkan daripada teori-teori. "Jadi pelatihan itu tujuannya to be
entrepreneur. Bukan sekedar to know entrepreneurship. Ini ilmu, jadi
harus pula dipelajari seperti halnya sebuah ilmu di bangku kuliah, bisa
3-4 tahun lamanya," kata dia.
Ciputra kemudian menyebut audience sebenarnya memiliki sejarah masa
kecil yang lebih baik. Dia menuturkan, bahwa masa kecilnya tidak
mendapatkan pendidikan yang layak. "Saya dulu SD di sekolah Belanda,
sampai kelas 2. Bahasanya Belanda, saya nggak mau. Karena bahasa itu
tidak bisa diterapkan di lingkungan saya? Saya berontak. Itu tidak
sesuai dengan hati nurani, saya keluar," aku Ciputra.
"Lalu saya dipaksa di sekolah Tionghoa. Bahasanya juga bahasa Tionghoa,
lagi-lagi saya protes keras. Saya tidak mau masuk sekolah, sampai umur
12 tahun saya baru masuk sekolah SD lagi. Sejak kecil saya tidak mau
belajar kok menghafal. Saya paling benci, menghafal. Itu sejak kecil
dulu," ungkapnya.
Baru belakangan ini, tiga tahun lalu, Ciputra aktif mengampanyekan
entrepreneur. Jika sebelumnya negeri ini berada di Abad Kebangkitan
Bangsa, dengan Revolusi I bidang politik, maka saat ini ada Revolusi II.
Revolusi Entrepreneur. "Sekarang inilah saatnya bangkit dengan
entrepreneur!" provokasinya
Mengapa RRC cepat bangkit dari krisis? Sekitar 200 tahun atau dua abad
silam, RRC itu sudah menguasai 34 persen dari GNP dunia. Di Indonesia,
200 tahun yang lalu, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, dan 50
persen pemuda-pemuda hebatnya tewas dibunuh Belanda. Setelah itu,
Belanda menjajah negeri ini dengan eksploitasi sumber daya alam, dan
memangkas akses-akses menuju pemuda-pemuda pintar.
Menangis hati Pak Ci begitu menyaksikan 350 tahun bangsa ini dijajah
oleh Belanda. Selama tujuh generasi dibodoh-bodohi, tidak dipintarkan,
tidak diberi kesempatan dan hak untuk merdeka. "Ini sangat mempengaruhi
mental, logika berpikir orang Indonesia. Kemandirian bangsa ini hilang.
Mengapa orang Tionghoa maju dan entrepreneur semua? Karena mereka adalah
bangsa yang tidak pernah dijajah seperti kita. Mereka tidak merasakan
tekanan untuk belajar dan melakukan apa saja buat bangsanya," kata dia.
Itulah pangkal mula, mengapa anak-anak muda negeri ini lebih memilih
menjadi PNS ketimbang menjadi pengusaha. "Di keluarga kami, menjadi
pegawai itu dianggap hina. Karena itu akan hidup miskin seumur hidup.
Kami malu, kalau ditanya bekerja di mana? Karena itu, hampir tidak ada
orang Tionghoa menjadi PNS," akunya. (don kardono/*)
Sumber :
Jawa Pos. Selasa, 1 September 2009.