---
TETAPI Pak Ci, panggilan akrab Ciputra, tidak kecewa. Tidak menunjukkan nada-nada putus asa. Apalagi berencana mogok bicara. Tidak juga mempertontonkan kegelisahan dari sikap dan wajahnya. Seolah dia sudah mengerti betul, ya beginilah jika menghadiri undangan pegawai negeri. Peserta rapat yang rata-rata pejabat lintas departemen itu sudah bisa dipastikan molor.
Kebetulan, ke mana-mana Ciputra tidak membawa jam tangan, jadi oke-oke saja. Sambil menunggu, dia sempatkan memprovokasi pejabat-pejabat Bapenas yang sudah hadir. Bahwa, entrepreneurship adalah jalan yang ditunjukkan Tuhan bagi negeri ini untuk keluar dari krisis, escape dari kemelaratan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketiadaan peluang kerja.
Begitu naik di podium, saya sudah menduga, Pak Ci yang pagi itu terlihat sangat fit, pasti memainkan gaya orasinya. Saya hanya berdoa, mudah-mudahan kali ini Pak Ci tampil lebih sabar. Tidak terlalu cepat logika berpikirnya dibandingkan dengan gerak mulut dan suaranya. Karena inilah kelemahan Pak Ci, jika terlalu bersemangat. Logika dan pikirannya berkecepatan 100 km per jam, mulut dan suaranya hanya 75 km per jam. Akibatnya sering terpeleset dan sering di-seret kalimat-kalimatnya.
Rupanya, pagi itu Tuhan sangat baik. Pidato Pak Ci sangat sempurna. Logika-logikanya runtut dan gaya bicaranya begitu mantap. Seperti orator yang sedang mem-brainwash kader-kadernya saja. Persis provokator sedang mempengaruhi khalayak. Intonasinya juga mengesankan. Tekanan-tekanan pada kata-kata kuncinya sangat kuat.
Antonius Tanan juga memperlihatkan kelasnya sebagai pimpinan UCEC. To the point, tidak berbelit, sarat data, sangat menguasai ilmu entrepreneur dan referensinya oke. Saat presentasi soal up date perkembangan wirausaha di dunia, Ciputra mempersilakan Antonius membantunya. Lalu Ciputra menegaskan dan mencontohkan hal-hal riil yang terjadi di Indonesia.
Misalnya, Antonius menjelaskan soal hasil riset Gallup tahun 1997, bahwa 7 dari 10 pelajar SMA di AS itu memilih menjadi entrepreneur dan memulai bisnisnya, daripada menjadi karyawan atau pegawai. Ciputra pun langsung menyahut dan membandingkan apa yang terjadi di Padang, Sumatera Barat.
Kota Minang yang dikenal perantau dan sukses membuat rumah makan padang di mana-mana. Sukses berentrepreneur, sukses menciptakan peluang kerja dan bisa survive di hampir seluruh penjuru negeri. Namun, sekarang semua sudah berubah.
"Anak-anak muda Padang sekarang bermimpi menjadi pegawai negeri, daripada menjadi perantau dan membuka rumah makan Padang. Angka statistiknya persis dengan di AS namun kebalikannya, 7 dari 10 anak Padang ingin jadi PNS. Hanya 3 yang masih ingin berwirausaha. Saya sedih mendengarnya," ucap Ciputra.
Antonius juga menjelaskan soal paradigma yang keliru. Selama ini, hampir semua orang berasumsi, bahwa persoalan utama pengembangan usaha kecil adalah ketersediaan modal. Karena itu di mana-mana, orang bicara modal dan ketersediaaqn Kredit Usaha Kecil (KUK), termasuk distribusinya seluas mungkin. Celakanya, pandangan ini juga terjadi di kalangan pemerintah dan masyarakat luas.
Padahal, kata Antonius, masalah pengembangan usaha kecil bukan cuma persoalan modal. Dengan ilmu entrepreneur, modal itu selalu bisa diatasi. Entrepreneur adalah disiplin ilmu yang bisa dipelajari dan harus dipelajari sebelum memulainya. Jadi, Pendidikan dan pelatihan entrepreneurship adalah kunci utamanya. "Selanjutnya, baru pembangunan Eco-system dan budaya serta implementasi lapangan, seperti ketersediaan KUK itu," ujarnya.
Ciputra menambahkan, ada fakta yang ini harus menjadi bahan kajian Bappenas. Kredit macet Unit Usaha Kecil Menengah (UMKM), yang bernilai di bawah Rp 5 M mencapai Rp 17,9 Triliun. Itu melibatkan sekitar 1,04 juta usaha kecil! Mengapa? "Mereka belum diajari entrepreneur sudah dikucurkan modal usaha. Ya, hilang begitu saja. Tak perlu cari siapa yang salah, karena itu sudah terjadi. Ke depan sebaiknya seperti apa. Itu yang harus kita pelototi," ujar Ciputra.
Pemerintah harus belajar dari kegagalan. Dulu pola anak angkat bapak angkat, juga sama. Gagal. Lalu sekarang dikembangkan dengan UMKM, kalau mau jujur, sebenarnya juga menuju ke kegagalan. Yang paling benar adalah, dididik dulu ilmu entrepreneur sejak TK, SD, SMP, SMA, sampai Universitas. "Siapkan 1 persen dari APBN, dari Rp 1.000 Triliun, alokasikan untuk Training of Trainers (TOT). Jadi setahun punya Rp 10 triliun untuk program pelatihan. Diisi dulu dengan ilmu entrepreneur, jangan belum paham ilmunya sudah digelontor modal usaha," jelasnya.
Ciputra mengibaratkan, seorang belum mengenakan kaus kaki, sudah dipasangi sepatu bola dan main 2x45 menit. Ya, pasti lecet-lecet semua. Pendidikan pun harus benar, tidak bisa hanya sekedar pelatihan 3-7 hari, atau seminggu, atau sebulan, terus diterjunkan dalam bisnis yang sangat keras. Pasti mereka akan kalah bersaing dan gulung tikar.
Pendidikan yang betul, harus melalui proses yang benar. Ilmu entrepreneur ini tidak hanya sekedar diberi kuliah pagi sore. Tetapi harus diimbangi dengan praktik. Mereka juga harus diajar oleh orang-orang yang sudah punya pengalaman berbisnis. Dikombinasi antara teori dan praktik. Seperti anak belajar berenang. Dia harus memahami teori, garis-garis besarnya, lalu harus ikut "basah" menceburkan diri di kolam. "Tidak cukup diberi teori, terus suruh loncat di kolam sendiri, pasti akan tenggelam," ujar Ciputra.
Sama juga dengan belajar sepeda roda dua. Lebih banyak harus dipraktikkan daripada teori-teori. "Jadi pelatihan itu tujuannya to be entrepreneur. Bukan sekedar to know entrepreneurship. Ini ilmu, jadi harus pula dipelajari seperti halnya sebuah ilmu di bangku kuliah, bisa 3-4 tahun lamanya," kata dia.
Ciputra kemudian menyebut audience sebenarnya memiliki sejarah masa kecil yang lebih baik. Dia menuturkan, bahwa masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak. "Saya dulu SD di sekolah Belanda, sampai kelas 2. Bahasanya Belanda, saya nggak mau. Karena bahasa itu tidak bisa diterapkan di lingkungan saya? Saya berontak. Itu tidak sesuai dengan hati nurani, saya keluar," aku Ciputra.
"Lalu saya dipaksa di sekolah Tionghoa. Bahasanya juga bahasa Tionghoa, lagi-lagi saya protes keras. Saya tidak mau masuk sekolah, sampai umur 12 tahun saya baru masuk sekolah SD lagi. Sejak kecil saya tidak mau belajar kok menghafal. Saya paling benci, menghafal. Itu sejak kecil dulu," ungkapnya.
Baru belakangan ini, tiga tahun lalu, Ciputra aktif mengampanyekan entrepreneur. Jika sebelumnya negeri ini berada di Abad Kebangkitan Bangsa, dengan Revolusi I bidang politik, maka saat ini ada Revolusi II. Revolusi Entrepreneur. "Sekarang inilah saatnya bangkit dengan entrepreneur!" provokasinya
Mengapa RRC cepat bangkit dari krisis? Sekitar 200 tahun atau dua abad silam, RRC itu sudah menguasai 34 persen dari GNP dunia. Di Indonesia, 200 tahun yang lalu, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda, dan 50 persen pemuda-pemuda hebatnya tewas dibunuh Belanda. Setelah itu, Belanda menjajah negeri ini dengan eksploitasi sumber daya alam, dan memangkas akses-akses menuju pemuda-pemuda pintar.
Menangis hati Pak Ci begitu menyaksikan 350 tahun bangsa ini dijajah oleh Belanda. Selama tujuh generasi dibodoh-bodohi, tidak dipintarkan, tidak diberi kesempatan dan hak untuk merdeka. "Ini sangat mempengaruhi mental, logika berpikir orang Indonesia. Kemandirian bangsa ini hilang. Mengapa orang Tionghoa maju dan entrepreneur semua? Karena mereka adalah bangsa yang tidak pernah dijajah seperti kita. Mereka tidak merasakan tekanan untuk belajar dan melakukan apa saja buat bangsanya," kata dia.
Itulah pangkal mula, mengapa anak-anak muda negeri ini lebih memilih menjadi PNS ketimbang menjadi pengusaha. "Di keluarga kami, menjadi pegawai itu dianggap hina. Karena itu akan hidup miskin seumur hidup. Kami malu, kalau ditanya bekerja di mana? Karena itu, hampir tidak ada orang Tionghoa menjadi PNS," akunya. (don kardono/*)
Sumber : Jawa Pos. Selasa, 1 September 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar