Minggu, 07 April 2013

In Memory of Yusak The Orang Rimba Education Hero


In Memory of Yusak The Orang Rimba Education Hero

Art Performance teater Tonggal memperagakan Yusak mengajar anak-anak rimba. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Art Performance teater Tonggal memperagakan Yusak mengajar anak-anak rimba. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Air matanya menggantung dipelupuk, diciumnya lukisan sang putra yang sudah 14 tahun silam pergi meninggalkannya untuk selamanya.  Haru, sedih namum ada kebanggaan di hati Roosni Hutapea, sang ibu yang telah melahirkan Yusak Adrian Hutapea pionir guru pendidikan Orang Rimba.  Dalam kisahnya Roosni (75) sempat melarang Yusak putra kelimanya untuk bekerja di Warsi, ia meminta Yusak  bekerja di kota dengan pekerjaan yang lebih mapan.
Namun larangan sang mama, di jawab dengan bijak oleh Yusak. “Mama, kalau mama lihat sendiri orang rimba, melihat bagaimana mereka hidup, melihat bagaimana tanah-tanah mereka diambil pihak lain, saya yakin mama akan mendukung saya,”tutur Roosni menirukan ucapan Yusak kala itu.
Sang mamapun akhirnya merestui putra kelimanya itu bekerja bersama Orang Rimba yang diawalinya pada 24 Januari 1998.  Kala itu, Yusak sebagai antropolog lulusan Universitas Gajah Mada 1997,  direkrut Warsi untuk mengembangkan pendidikan bersama anak-anak rimba.  Yusak bersemangat sekali menekuni pekerjaaannya, kelompok demi kelompok Orang Rimba ditemuinya. Bergaul akrab dengan Orang Rimba, Yusak melihat suatu kenyataan bahwa Orang Rimba kehilangan sumber daya mereka karena ketidaktahuan Orang Rimba pada huruf-huruf dan angka. Hanya disodori selembar kertas kemudian di diminta Orang Rimba membubuhkan jempolnya, seminggu berikutnya Orang Rimba sudah tergusur ditanahnya sendiri, rupanya cap jempol yang dibubuhi merupakan surat persetujuan Orang Rimba untuk pengalihan lahan mereka menjadi perkebunan sawit, HTI trasmigrasi.
Ibunda Yusak, Ny Roosni (75) menyampaikan curahan hatinya terkait perjuangan sang putra. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Ibunda Yusak, Ny Roosni (75) menyampaikan curahan hatinya terkait perjuangan sang putra. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Terlihat sekali ketidaktahuan Orang Rimba dimanfaatkan pihak lain, satu-satunya cara harus memberitahukan Orang Rimba tentang huruf dan angka. Kala itu  Warsi belum menemukan metoda yang cocok untuk memulai pendidikan bersama anak-anak rimba. Adat dan budaya Orang Rimba yang unik menjadi kendala utama untuk pengenalan huruf dan angka pada Orang Rimba. Kala berdiskusi dengan rekan-rekan dan managemen Warsi yang kala itu dipimpin Firdaus Jamal, timbul pertanyaan “Bagaimana caranya, bagaimana memulainya? itu pertanyaan kami waktu itu,”ujar Firdaus Jamal mengingat pertemuan kantor Warsi di Kota Bangko.
Yusak  punya ide untuk belajar di Kali Code Yogyakarta. Yusak yang lama menempuh pendidikan di Yogya  melihat ada sekolah untuk anak jalanan dan terlantar.  Warsipun mendukung Yusak untuk belajar ke Yogya, selama satu bulan Yusak mempelajari seluk beluk pendidikan alternatif di Yogya. Sepulang dari Yogja, Yusak melakukan studi awal pilot projek pendidikan pada 15 Juni hingga 15 Juli 1998. Kemudian dilanjutkan pada 25 Juli hingga 2 Agustus 1998. Fokus studi dilakukan di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir, Bukit Dua Belas Jambi.
Studi diawali di pinggir Sungai Pengelaworon dan Sungai Sako Rempon di Makekal Hulu. Orang Rimba di daerah ini dipimpin oleh Mangku Tuha dengan anggota kelompok 98 jiwa. Kemudian ia melanjutkan studi ke daerah Pangarukan yang saat itu dipimpin Menti Bepak Pengusai. Jumlah Orang Rimba disini hanya 22 jiwa.  Yusak juga mengunjungi kelompok Tumenggung Mirak di Sungai Sako Talun yang memiliki anggota kelompok sebanyak 24 jiwa.
Sedangkan di Makekal Hilir, ia mengunjungi kelompok Bedinding Besi, kelompok Nitip (Bepak Bepiun), dan kelompok Mensemah (Bepak Sijangkang). Ketiga kelompok ini memiliki jumlah anggota sebanyak 83 jiwa.
Dari studi ini, dan mempelajari adat kebiasaan Orang Rimba Yusak berkesimpulan, bahwa pendidikan untuk Orang Rimba hanya fokus pada baca tulis dan hitung.  Namun bukan perkara mudah untuk menenalkan angka dan huruf-huruf pada Orang Rimba.  Dengan adat budaya yang menganut kebalikan dari masyarakat melayu, Orang Rimba menolak semua hal-hal yang berasal dari luar adat dan kebiasaan mereka, termasuk mengenal pendidikan. “Waktu itu, Tumenggung kami melarang untuk ado  nang diajarko Yusak, tapi dio datang pado akeh, dio cakopkan ke akeh, apo perlunya belajor nang dimaksud mendiang (Yusak). Waktu itu akeh suruh budak-budak cubo ikut dulu, anak akeh Pengusai, ternong anak adik akeh, satu lagi Beseling, yang akeh suruh ikut pelajoron,”kenang Bepak Pengusai, tengganai Orang Rimba yang mendukung Yusak untuk pendidikan pertama di gelar di pinggir Sungai Pengelaworan.
Yusak mengajar anak-anak rimba Foto Dok KKI Warsi
Yusak mengajar anak-anak rimba Foto Dok KKI Warsi
Kala mengajari ketiga murid ini, murid Yusak bertambah, ada Ngrip, Mendawai dan Ngetepi juga ikut bergabung. Anak-anak rimba ini diajarkan Yusak huruf demi huruf, angka demi angka.  Dari catatan Yusak menuliskan memberikan pengajaran bagi Orang Rimba ternyata tidak mudah. Banyak huruf yang tidak diketahui dalam bahasa rimba, sehingga Orang Rimba sulit membacanya. Huruf-huruf seperti E, F, H, I, K, M, N, O, Q, V, W, X, Y, Z, sangat susah mereka hafalkan bentuk hurufnya. Namun jika disuruh untuk meniru tulisan tersebut, mereka cukup cepat melakukannya. Selain itu kebiasaan mereka memakai bahasa orang rimba/cakap rimba juga membuat mereka sulit melafalkan beberapa huruf, yaitu F, R, V, W, X, Y, Z.
Untuk mempermudah pengenalan huruf-huruf yang sama sekali belum diketahui Orang Rimba, Yusak mengaitkan bentuk huruf dengan alam sekitar, terutama yang ada dalam pikiran mereka. Misalnya, huruf A seperti sesudungon (rumah Orang Rimba yang beratapkan terpal), E seperti angka 3 terbalik, I seperti titian batang/kujur, J seperti mata pancing, K seperti ranting pohon, M seperti burung terbang, N seperti huruf M terpotong, O seperti tutup botol, T seperti tiang jemuran, W seperti kebalikan huruf M, X seperti palang, Y seperti ketapel/peci.  Sisa huruf lainnya,  Yusak meminta murid-muridnya untuk mengaitkan dengan benda yang ada disekitar mereka.  Cara ini ternyata cukup membantu untuk mempercepat mereka dalam membaca dan menghafal huruf-huruf.
Sedikit demi sedikit anak-anak rimba semakin tertarik untuk mengetahui huruf-huruf dan cara membacanya. Siomban yang juga bergabung dengan Yusak, menyebutkan kala itu, dia sangat tertarik untuk mengetahui pelajaran yang dibawa Yusak. “Kami sering dipalolo, jual getah sudah sekwintal tapi kato toke kurang, sen yang kami dapat sedikit, ini yang mendorong akeh untuk terus ikut pendidikan bersama Yusak,”ujar Siomban salah satu murid Yusak dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Untuk lebih memudahkan orang rimba melafalkan alphabet ini, Yusak kemudian merekam suaranya menggunakan tape recorder, kemudian diperdengarkan kembali pada Orang Rimba. Hal ini ternyata cukup ampuh dan mereka cukup cepat  melafalkannya A sampai Z.
 Dengan enam orang rimba yang mengikuti pendidikan yang di buat Yusak, tak langsung berjalan mulus. Dalam beberapa hari Mendawai dan Ngentepi sudah ada yang mengundurkan diri. Tanggal 29 Juli 1998 petang, Betatai (anak Tumenggung Mirak), Besangkil, dan Manggung, datang ke pondok belajar. Sebenarnya mereka dalam perjalanan menuju SPG Bungo Tanjung untuk belanja. Yusak sudah menjelaskan pada mereka kalau Tumenggung Mirak kurang setuju dengan program pendidikan ini, tetapi ketiga anak ini tetap ingin mengikuti pendidikan. Ternyata kedatangan mereka bertiga membuat Mendawai dan Ngentepi datang lagi ke pondok belajar, dan mereka semua ikut dalam kegiatan belajar. Tambahan murud ini, membuat Yusak senang, karena pesertanya bertambah banyak. Pada malam itu, Terenong, Pengusai, Beseling, dan Grip memamerkan kepandaiannya kepada Betatai, Besangkil, dan Manggung yang baru datang. Ternyata mereka tertarik dan ikut belajar walau cuma satu malam saja.
berderet Siomban (dua dari kiri), Pengusai dan Bepak Pengusai menyampaikan testimoni tentang Yusak. Pengusai dan Siomban merupakan murid Yusak. Foto Heriyadi/dok KKI Warsi
berderet Siomban (dua dari kiri), Pengusai dan Bepak Pengusai menyampaikan testimoni tentang Yusak. Pengusai dan Siomban merupakan murid Yusak. Foto Heriyadi/dok KKI Warsi
Pada kesempatan pendidikan perdana ini, selain anak-anak beberapa Orang Tua juga mulai ikut, terutama setelah sore  hari. Mengajar Orang Rimba menurut Yusak, juga membuatnya kadang senyum sendiri, pasalnya Orang Rimba begitu besarnya mengerahkan energi untuk dapat menulis dan membaca.  Keringat mereka bercucuran dengan deras, dan setiap kali mereka mencoba untuk membaca dan menulis.
Setelah seminggu memberikan pendidikan ini, Yusak melihat kemajuan yang berarti pada orang rimba. Grip, Terenong, Pengusai, Besuling sudah dapat membaca dan menulis huruf A sampai Z. Mereka juga sudah mulai bisa mengeja beberapa kata, seperti  I – bu; a – ke; a – ku, ba – pak; oi; au; ho – pi. Suatu gambaran atas puasnya mereka setelah pandai membaca dan menulis huruf A sampai Z adalah penuhnya dinding pondok dengan tulisan kapur mereka.
Setelah sukses dengan pilot projeknya ini, Yusak dengan dukungan penuh staf Warsi lainnya, mulai mengembangkan pendidikan ke sejumlah kelompok lain. Yusak makin bersemangat, anak-anak rimbapun semakin akrab. Hingga pada pagi 25 Meret 1999, Yusak tidak enak badan. Bepak Pengusai yang kala itu mengantarkan Yusak ke tepi rimba untuk pualng ke Bangko. Bepak Pengusai masih ingat dengan baik kala guru rimba yang mereka cintai itu, diantarkannya ke SPG Bungo Tanjung. Menurut Bepak Pemusai kala itu, Yusak masih mengendarai motor trailnya keluar rimba, jalannya sangat buruk dan licin. Kala itu Bepak Pengusai memilih berjalan kaki di belakang Yusak. Namun dikejahuan di dengarnya Yusak berteriak, bergegas dia menyusul sang guru, “Waktu itu ngeri naik motor, jalannya buruk, jalan logging licin, akeh hopi berani naik motor, mako akeh susul dari belakang, waktu kanti berteriak akeh kejar, ruponyo Bepak Guru salah jalan, akeh tunjukkan jalan ke SPG nang biaso kami lalui, hopi tau kenapo bisa salah jalan, padahal sudah sering jalan itu dilaluinya,”tutur Bepak Bepiun.
Bepak Bepiun tak pernah menyangka hari itu adalah untuk terakhir kalinya ia melihat Yusak yang telah mengajarkanya anak-anaknya baca tulis dan berhitung. Sore harinya, sesampai di kantor Bangko, Yusak masih sempat bercengrkrama dengan sesame penguin mess tempat mereka tinggal dan melepas lelah kala kembali dari lapangan. Deman yang dirasakannya dianggap deman biasa, tapi tanpa di sangka, sore itu langsung terjadi kepanikan kala Yusak kejang, dan tak lama berselang dalam perjalanan ke rumah sakit yang hanya berjarak 1 km dari mess Yusak menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kini empat belas tahun berlalu, Yusak mungkin sudah tenang di alam sana, melihat pendidikan anak rimba sudah berkembang pesat. Ibu Roosnipun sudah ikhlas dengan kepergian anaknya. Kali ini empat belas tahun kemudian air matanya jatuh lagi, bukan menyesali kepergian anaknya, namun rasa haru yang sangat membuncah, bangga dengan perjuangan sang putra yang sudah membuka jalan, meretas akraba bagi anak-anak rimba dibelantara.
Yusak telah menemui takdirnya, sesuai dengan janjinya pada sang mama akan pulang pada tanggal 26 Maret 1999. “Ia  benar-benar pulang, tetapi sudah di dalam peti, waktu saya menangis, kenapa.. kenapa… tapi kini saya bangga  dititipkan anak seberani dan setekun Yusak, semoga yang dilakukannya terus membakar semangat kalian (Warsi) untuk melanjutkan perjuangannya, dan semoga orang rimba semakin baik kehidupannya,”ujar Rosni dengan suara bergetar.
Yusak_KarikaturYusak, engkau tak pernah pergi semangat dan perjuanganmu akan selalu ada di dalam jiwa dan semangat kami.***  (sukmareni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengapa selalu dengar radio