In Memory of Yusak The Orang Rimba Education Hero
Air matanya menggantung dipelupuk,
diciumnya lukisan sang putra yang sudah 14 tahun silam pergi
meninggalkannya untuk selamanya. Haru, sedih namum ada kebanggaan di
hati Roosni Hutapea, sang ibu yang telah melahirkan Yusak Adrian Hutapea
pionir guru pendidikan Orang Rimba. Dalam kisahnya Roosni (75) sempat
melarang Yusak putra kelimanya untuk bekerja di Warsi, ia meminta Yusak
bekerja di kota dengan pekerjaan yang lebih mapan.
Namun larangan sang mama, di jawab dengan
bijak oleh Yusak. “Mama, kalau mama lihat sendiri orang rimba, melihat
bagaimana mereka hidup, melihat bagaimana tanah-tanah mereka diambil
pihak lain, saya yakin mama akan mendukung saya,”tutur Roosni menirukan
ucapan Yusak kala itu.
Sang mamapun akhirnya merestui putra
kelimanya itu bekerja bersama Orang Rimba yang diawalinya pada 24
Januari 1998. Kala itu, Yusak sebagai antropolog lulusan Universitas
Gajah Mada 1997, direkrut Warsi untuk mengembangkan pendidikan bersama
anak-anak rimba. Yusak bersemangat sekali menekuni pekerjaaannya,
kelompok demi kelompok Orang Rimba ditemuinya. Bergaul akrab dengan
Orang Rimba, Yusak melihat suatu kenyataan bahwa Orang Rimba kehilangan
sumber daya mereka karena ketidaktahuan Orang Rimba pada huruf-huruf dan
angka. Hanya disodori selembar kertas kemudian di diminta Orang Rimba
membubuhkan jempolnya, seminggu berikutnya Orang Rimba sudah tergusur
ditanahnya sendiri, rupanya cap jempol yang dibubuhi merupakan surat
persetujuan Orang Rimba untuk pengalihan lahan mereka menjadi perkebunan
sawit, HTI trasmigrasi.
Terlihat sekali ketidaktahuan Orang Rimba
dimanfaatkan pihak lain, satu-satunya cara harus memberitahukan Orang
Rimba tentang huruf dan angka. Kala itu Warsi belum menemukan metoda
yang cocok untuk memulai pendidikan bersama anak-anak rimba. Adat dan
budaya Orang Rimba yang unik menjadi kendala utama untuk pengenalan
huruf dan angka pada Orang Rimba. Kala berdiskusi dengan rekan-rekan dan
managemen Warsi yang kala itu dipimpin Firdaus Jamal, timbul pertanyaan
“Bagaimana caranya, bagaimana memulainya? itu pertanyaan kami waktu
itu,”ujar Firdaus Jamal mengingat pertemuan kantor Warsi di Kota Bangko.
Yusak punya ide untuk belajar di Kali
Code Yogyakarta. Yusak yang lama menempuh pendidikan di Yogya melihat
ada sekolah untuk anak jalanan dan terlantar. Warsipun mendukung Yusak
untuk belajar ke Yogya, selama satu bulan Yusak mempelajari seluk beluk
pendidikan alternatif di Yogya. Sepulang dari Yogja, Yusak melakukan
studi awal pilot projek pendidikan pada 15 Juni hingga 15 Juli 1998.
Kemudian dilanjutkan pada 25 Juli hingga 2 Agustus 1998. Fokus studi
dilakukan di daerah Makekal Hulu dan Makekal Hilir, Bukit Dua Belas
Jambi.
Studi diawali di pinggir Sungai
Pengelaworon dan Sungai Sako Rempon di Makekal Hulu. Orang Rimba di
daerah ini dipimpin oleh Mangku Tuha dengan anggota kelompok 98 jiwa.
Kemudian ia melanjutkan studi ke daerah Pangarukan yang saat itu
dipimpin Menti Bepak Pengusai. Jumlah Orang Rimba disini hanya 22 jiwa.
Yusak juga mengunjungi kelompok Tumenggung Mirak di Sungai Sako Talun
yang memiliki anggota kelompok sebanyak 24 jiwa.
Sedangkan di Makekal Hilir, ia
mengunjungi kelompok Bedinding Besi, kelompok Nitip (Bepak Bepiun), dan
kelompok Mensemah (Bepak Sijangkang). Ketiga kelompok ini memiliki
jumlah anggota sebanyak 83 jiwa.
Dari studi ini, dan mempelajari adat
kebiasaan Orang Rimba Yusak berkesimpulan, bahwa pendidikan untuk Orang
Rimba hanya fokus pada baca tulis dan hitung. Namun bukan perkara mudah
untuk menenalkan angka dan huruf-huruf pada Orang Rimba. Dengan adat
budaya yang menganut kebalikan dari masyarakat melayu, Orang Rimba
menolak semua hal-hal yang berasal dari luar adat dan kebiasaan mereka,
termasuk mengenal pendidikan. “Waktu itu, Tumenggung kami melarang untuk
ado nang diajarko Yusak, tapi dio datang pado akeh, dio cakopkan ke
akeh, apo perlunya belajor nang dimaksud mendiang (Yusak). Waktu itu
akeh suruh budak-budak cubo ikut dulu, anak akeh Pengusai, ternong anak
adik akeh, satu lagi Beseling, yang akeh suruh ikut pelajoron,”kenang
Bepak Pengusai, tengganai Orang Rimba yang mendukung Yusak untuk
pendidikan pertama di gelar di pinggir Sungai Pengelaworan.
Kala mengajari ketiga murid ini, murid
Yusak bertambah, ada Ngrip, Mendawai dan Ngetepi juga ikut bergabung.
Anak-anak rimba ini diajarkan Yusak huruf demi huruf, angka demi angka.
Dari catatan Yusak menuliskan memberikan pengajaran bagi Orang Rimba
ternyata tidak mudah. Banyak huruf yang tidak diketahui dalam bahasa
rimba, sehingga Orang Rimba sulit membacanya. Huruf-huruf seperti E, F,
H, I, K, M, N, O, Q, V, W, X, Y, Z, sangat susah mereka hafalkan bentuk
hurufnya. Namun jika disuruh untuk meniru tulisan tersebut, mereka cukup
cepat melakukannya. Selain itu kebiasaan mereka memakai bahasa orang
rimba/cakap rimba juga membuat mereka sulit melafalkan beberapa huruf,
yaitu F, R, V, W, X, Y, Z.
Untuk mempermudah pengenalan huruf-huruf
yang sama sekali belum diketahui Orang Rimba, Yusak mengaitkan bentuk
huruf dengan alam sekitar, terutama yang ada dalam pikiran mereka.
Misalnya, huruf A seperti sesudungon (rumah Orang Rimba yang beratapkan
terpal), E seperti angka 3 terbalik, I seperti titian batang/kujur, J
seperti mata pancing, K seperti ranting pohon, M seperti burung terbang,
N seperti huruf M terpotong, O seperti tutup botol, T seperti tiang
jemuran, W seperti kebalikan huruf M, X seperti palang, Y seperti
ketapel/peci. Sisa huruf lainnya, Yusak meminta murid-muridnya untuk
mengaitkan dengan benda yang ada disekitar mereka. Cara ini ternyata
cukup membantu untuk mempercepat mereka dalam membaca dan menghafal
huruf-huruf.
Sedikit demi sedikit anak-anak rimba
semakin tertarik untuk mengetahui huruf-huruf dan cara membacanya.
Siomban yang juga bergabung dengan Yusak, menyebutkan kala itu, dia
sangat tertarik untuk mengetahui pelajaran yang dibawa Yusak. “Kami
sering dipalolo, jual getah sudah sekwintal tapi kato toke kurang, sen
yang kami dapat sedikit, ini yang mendorong akeh untuk terus ikut
pendidikan bersama Yusak,”ujar Siomban salah satu murid Yusak dengan
bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Untuk lebih memudahkan orang rimba
melafalkan alphabet ini, Yusak kemudian merekam suaranya menggunakan
tape recorder, kemudian diperdengarkan kembali pada Orang Rimba. Hal ini
ternyata cukup ampuh dan mereka cukup cepat melafalkannya A sampai Z.
Dengan enam orang rimba yang mengikuti
pendidikan yang di buat Yusak, tak langsung berjalan mulus. Dalam
beberapa hari Mendawai dan Ngentepi sudah ada yang mengundurkan diri.
Tanggal 29 Juli 1998 petang, Betatai (anak Tumenggung Mirak), Besangkil,
dan Manggung, datang ke pondok belajar. Sebenarnya mereka dalam
perjalanan menuju SPG Bungo Tanjung untuk belanja. Yusak sudah
menjelaskan pada mereka kalau Tumenggung Mirak kurang setuju dengan
program pendidikan ini, tetapi ketiga anak ini tetap ingin mengikuti
pendidikan. Ternyata kedatangan mereka bertiga membuat Mendawai dan
Ngentepi datang lagi ke pondok belajar, dan mereka semua ikut dalam
kegiatan belajar. Tambahan murud ini, membuat Yusak senang, karena
pesertanya bertambah banyak. Pada malam itu, Terenong, Pengusai,
Beseling, dan Grip memamerkan kepandaiannya kepada Betatai, Besangkil,
dan Manggung yang baru datang. Ternyata mereka tertarik dan ikut belajar
walau cuma satu malam saja.
Pada kesempatan pendidikan perdana ini,
selain anak-anak beberapa Orang Tua juga mulai ikut, terutama setelah
sore hari. Mengajar Orang Rimba menurut Yusak, juga membuatnya kadang
senyum sendiri, pasalnya Orang Rimba begitu besarnya mengerahkan energi
untuk dapat menulis dan membaca. Keringat mereka bercucuran dengan
deras, dan setiap kali mereka mencoba untuk membaca dan menulis.
Setelah seminggu memberikan pendidikan
ini, Yusak melihat kemajuan yang berarti pada orang rimba. Grip,
Terenong, Pengusai, Besuling sudah dapat membaca dan menulis huruf A
sampai Z. Mereka juga sudah mulai bisa mengeja beberapa kata, seperti I
– bu; a – ke; a – ku, ba – pak; oi; au; ho – pi. Suatu gambaran atas
puasnya mereka setelah pandai membaca dan menulis huruf A sampai Z
adalah penuhnya dinding pondok dengan tulisan kapur mereka.
Setelah sukses dengan pilot projeknya
ini, Yusak dengan dukungan penuh staf Warsi lainnya, mulai mengembangkan
pendidikan ke sejumlah kelompok lain. Yusak makin bersemangat,
anak-anak rimbapun semakin akrab. Hingga pada pagi 25 Meret 1999, Yusak
tidak enak badan. Bepak Pengusai yang kala itu mengantarkan Yusak ke
tepi rimba untuk pualng ke Bangko. Bepak Pengusai masih ingat dengan
baik kala guru rimba yang mereka cintai itu, diantarkannya ke SPG Bungo
Tanjung. Menurut Bepak Pemusai kala itu, Yusak masih mengendarai motor
trailnya keluar rimba, jalannya sangat buruk dan licin. Kala itu Bepak
Pengusai memilih berjalan kaki di belakang Yusak. Namun dikejahuan di
dengarnya Yusak berteriak, bergegas dia menyusul sang guru, “Waktu itu
ngeri naik motor, jalannya buruk, jalan logging licin, akeh hopi berani
naik motor, mako akeh susul dari belakang, waktu kanti berteriak akeh
kejar, ruponyo Bepak Guru salah jalan, akeh tunjukkan jalan ke SPG nang
biaso kami lalui, hopi tau kenapo bisa salah jalan, padahal sudah sering
jalan itu dilaluinya,”tutur Bepak Bepiun.
Bepak Bepiun tak pernah menyangka hari
itu adalah untuk terakhir kalinya ia melihat Yusak yang telah
mengajarkanya anak-anaknya baca tulis dan berhitung. Sore harinya,
sesampai di kantor Bangko, Yusak masih sempat bercengrkrama dengan
sesame penguin mess tempat mereka tinggal dan melepas lelah kala kembali
dari lapangan. Deman yang dirasakannya dianggap deman biasa, tapi tanpa
di sangka, sore itu langsung terjadi kepanikan kala Yusak kejang, dan
tak lama berselang dalam perjalanan ke rumah sakit yang hanya berjarak 1
km dari mess Yusak menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kini empat belas tahun berlalu, Yusak
mungkin sudah tenang di alam sana, melihat pendidikan anak rimba sudah
berkembang pesat. Ibu Roosnipun sudah ikhlas dengan kepergian anaknya.
Kali ini empat belas tahun kemudian air matanya jatuh lagi, bukan
menyesali kepergian anaknya, namun rasa haru yang sangat membuncah,
bangga dengan perjuangan sang putra yang sudah membuka jalan, meretas
akraba bagi anak-anak rimba dibelantara.
Yusak telah menemui takdirnya, sesuai
dengan janjinya pada sang mama akan pulang pada tanggal 26 Maret 1999.
“Ia benar-benar pulang, tetapi sudah di dalam peti, waktu saya
menangis, kenapa.. kenapa… tapi kini saya bangga dititipkan anak
seberani dan setekun Yusak, semoga yang dilakukannya terus membakar
semangat kalian (Warsi) untuk melanjutkan perjuangannya, dan semoga
orang rimba semakin baik kehidupannya,”ujar Rosni dengan suara bergetar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar